PENERAPAN BUDAYA POSITIF

 Irfan Nur Awaludin Mulyawan, S.Pd - CGP Angkatan 4 Kabupaten Bandung Barat


2.1  Perubahan Paradigma

 

Kegiatan Pemantik:

Anda dan teman Anda akan melakukan kegiatan ‘Cobalah Buka’. Tugas Anda adalah mengepalkan salah satu tangan Anda. Coba Anda bayangkan bahwa Anda menyimpan sesuatu yang sangat berharga di dalam kepalan tangan Anda. Anda perlu menjaga benda tersebut sekuat tenaga Anda karena begitu pentingnya untuk kehidupan Anda. Tugas rekan Anda adalah mencoba dengan segala cara untuk membuka kepalan tangan  Anda.  Teman  Anda  boleh  membujuk,  menghardik,  menggoda, bahkan menawari Anda dengan uang agar  Anda  bersedia  membuka kepalan tangan Anda.

Cobalah lakukan kegiatan Cobalah Buka’ di atas dengan teman kerja Anda secara bergantian, masing-masing akan memiliki waktu 1 menit saja. Sesudah itu diskusikan kegiatan ini dan coba jawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini secara mandiri, dan diskusikan kembali dengan rekan Anda. Bandingkan jawaban Anda, apakah berbeda, atau sama. Bilamana berbeda, kira-kira mengapa?

·       Kira-kira apakah Anda akan membuka kepalan tangan Anda dengan bujukan, godaan, atau paksaan teman Anda? Mengapa?

·       Ataukah Anda akan bertahan dan menolak membuka kepalan tangan sampai sekuat tenaga Anda? Mengapa?

 

Untuk membangun budaya yang positif,  sekolah  perlu  menyediakan lingkungan yang positif, aman, dan nyaman  agar  murid-murid  mampu berpikir, bertindak, dan mencipta dengan merdeka,  mandiri,  dan bertanggung  jawab.  Salah  satu  strategi  yang  perlu  ditinjau  ulang  adalah bentuk   disiplin   yang   dijalankan   selama   ini   di   sekolah-sekolah   kita. Pembahasan disiplin kali ini akan meninjau teori yang dikemukakan oleh Diane Gossen. Sebelum kita gali lebih lanjut tentang teori Disiplin Restitusi dari Diane Gossen, mari menyamakan model berpikir kita tentang disiplin itu sendiri. Lazimnya disiplin dikaitkan dengan kontrol. Dalam hal ini kontrol guru dalam menghadapi murid.


Di bawah ini adalah paparan Dr. William Glasser dalam Control Theory, untuk meluruskan berapa miskonsepsi tentang kontrol:

·     Ilusi guru mengontrol murid.

Pada dasarnya kita tidak dapat memaksa murid untuk berbuat sesuatu jikalau  murid  tersebut  memilih  untuk  tidak  melakukannya.  Walaupun tampaknya kita sedang mengontrol perilaku murid tersebut, hal ini karena murid tersebut sedang mengizinkan dirinya dikontrol. Saat itu bentuk  kontrol   guru  menjadi  kebutuhan  dasar  yang  dipilih  murid tersebut. Teori Kontrol menyatakan bahwa semua perilaku memiliki tujuan, bahkan terhadap perilaku yang tidak disukai.

 

·     Ilusi bahwa semua penguatan positif efektif dan bermanfaat. Penguatan positif atau bujukan adalah bentuk-bentuk kontrol. Segala usaha untuk mempengaruhi murid agar mengulangi suatu perilaku tertentu, adalah suatu usaha untuk mengontrol murid tersebut. Dalam jangka waktu tertentu, kemungkinan murid tersebut akan menyadarinya dan mencoba untuk menolak bujukan kita, atau bisa jadi murid tersebut menjadi tergantung pada pendapat sang guru untuk berusaha.

 

·     Ilusi     bahwa       kritik    dan     membuat        orang      merasa       bersalah dapat menguatkan karakter.

Menggunakan kritik dan rasa bersalah untuk mengontrol murid menuju pada identitas gagal. Mereka belajar untuk merasa buruk tentang diri mereka. Mereka mengembangkan dialog diri yang negatif.  Kadang kala sulit bagi guru untuk mengidentifikasi bahwa mereka melakukan perilaku ini, karena seringkali guru cukup menggunakan suara halus untuk menyampaikan pesan negatif.

 

·       Ilusi bahwa orang dewasa memiliki hak untuk memaksa.

Banyak orang dewasa yang percaya bahwa mereka memiliki tanggung jawab untuk membuat murid-murid berbuat hal-hal tertentu. Apapun yang   dilakukan   dapat   diterima,   selama   ada   sebuah   kemajuan berdasarkan  sebuah  pengukuran  kinerja.  Pada  saat  itu  pula,  orang dewasa akan menyadari bahwa perilaku memaksa tidak akan efektif untuk jangka waktu panjang, dan sebuah hubungan permusuhan akan terbentuk.

 

Bagaimana seseorang bisa berubah dari paradigma Stimulus-Respon kepada pendekatan teori Kontrol? Stephen R. Covey (Principle-Centered Leadership, 1991) mengatakan bahwa,


..bila kita ingin membuat kemajuan perlahan, sedikit-sedikit, ubahlah sikap atau perilaku Anda. Namun bila kita ingin memperbaiki cara-cara utama kita, maka kita perlu mengubah kerangka acuan kita. Ubahlah bagaimana Anda melihat   dunia,   bagaimana   Anda   berpikir   tentang   manusia,   ubahlah paradigma Anda, skema pemahaman dan penjelasan aspek-aspek tertentu tentang realitas.

 

Stimulus-Respon lawan Teori Kontrol: Pandangan tentang Dunia

Stimulus-Respon tentang Dunia

Teori Kontrol tentang Dunia

Realitas (kebutuhan) kita sama.

Realitas (kebutuhan) kita berbeda.

Semua orang melihat hal yang sama.

Setiap orang memiliki gambaran berbeda.

Kita mencoba mengubah orang agar berpandangan sama dengan kita.

Kita berusaha memahami pandangan orang lain tentang dunia.

Perilaku buruk dilihat sebagai suatu kesalahan

Semua perilaku memiliki tujuan.

Orang lain bisa mengontrol saya.

Hanya Anda yang bisa mengontrol diri Anda.

Saya bisa mengontrol orang lain.

Anda tidak bisa mengontrol orang lain.

Pemaksaan ada pada saat bujukan gagal.

Kolaborasi dan konsensus menciptakan pilihan-pilihan baru.

Model Berpikir Menang/Kalah

Model Berpikir Menang-menang.


 

2.2 Konsep Disiplin Positif dan Motivasi

Pertanyaan Pemantik:

 

Bagaimana cara membuat murid disiplin?

Siapakah yang bisa mendisiplinkan murid?

Apakah guru yang bisa mendisiplinkan murid?

Atau Kepala Sekolah?

Atau orangtua murid?

Atau murid itu sendiri?  

Mengapa?

Bapak dan Ibu calon guru penggerak,

 

Setelah memahami perbedaan teori stimulus respons dan teori kontrol pada pembahasan sebelumnya, sekarang mari kita belajar tentang konsep disiplin positif yang merupakan unsur utama dalam terwujudnya budaya positif yang kita cita- citakan di sekolah-sekolah kita.

Kebanyakan guru, sangat tertarik dengan topik pembahasan tentang disiplin. Mereka berpendapat bahwa kalau saja anak-anak bisa disiplin, pasti mereka akan bisa  belajar.  Para  guru  juga  berpendapat  bahwa  mendisiplinkan  anak-anak adalah  bagian  yang  paling  menantang  dari  pekerjaan  mereka.   

Bagaimana dengan Bapak/Ibu CGP?

Apakah Anda memiliki pendapat yang sama?

Marilah kita baca artikel di bawah ini:

Text Box: Makna Kata Disiplin

Ketika mendengar kata “disiplin”, apa yang terbayang di benak Anda? Apa yang terlintas di pikiran Anda? Kebanyakan orang akan menghubungkan kata disiplin dengan tata tertib, teratur, dan kepatuhan pada peraturan. Kata “disiplin” juga sering dihubungkan dengan hukuman, padahal itu sungguh berbeda, karena belajar tentang disiplin positif tidak harus dengan memberi hukuman, justru itu adalah salah satu alternatif terakhir dan kalau perlu tidak digunakan sama sekali.


Dalam budaya kita, makna kata ‘disiplin’ dimaknai menjadi sesuatu yang dilakukan seseorang pada orang lain untuk mendapatkan kepatuhan. Kita cenderung menghubungkan kata ‘disiplin’ dengan ketidaknyamanan.

 

Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa

 

“dimana ada kemerdekaan, disitulah harus ada disiplin yang kuat. Sungguhpun disiplin itu bersifat self discipline yaitu kita sendiri yang mewajibkan kita dengan sekeras-kerasnya, tetapi itu sama saja; sebab jikalau kita tidak cakap melakukan self discipline, wajiblah penguasa lain mendisiplin diri kita. Dan peraturan demikian itulah harus ada di dalam suasana yang merdeka.

 

(Ki    Hajar    Dewantara,    pemikiran,    Konsepsi,    Keteladanan,    Sikap Merdeka, Cetakan Kelima, 2013, Halaman 470)

 

Disitu Ki Hajar menyatakan bahwa untuk mencapai kemerdekaan atau dalam konteks pendidikan kita saat ini, untuk menciptakan murid yang  merdeka, syarat utamanya adalah harus ada disiplin yang kuat. Disiplin yang dimaksud adalah disiplin diri, yang memiliki motivasi internal. Jika kita tidak memiliki motivasi internal, maka kita memerlukan pihak lain untuk mendisiplinkan kita atau motivasi eksternal, karena berasal dari luar, bukan dari dalam diri kita sendiri.

 

Adapun definisi kata ‘merdeka’ menurut Ki Hajar adalah:

 

mardika iku jarwanya, nora mung lepasing pangreh, nging uga kuwat kuwasa   amandiri   priyangga   (merdeka  itu   artinya;   tidak   hanya terlepas dari perintah; akan tetapi juga cakap buat memerintah diri sendiri)

 

Pemikiran Ki Hajar ini sejalan dengan pandangan Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline, 2001. Diane menyatakan bahwa arti dari kata disiplin berasal dari bahasa Latin, disciplina’, yang artinya ‘belajar’. Kata ‘discipline’ juga berasal dari akar kata yang sama dengan ‘disciple atau murid/pengikut. Untuk menjadi seorang murid, atau pengikut, seseorang harus paham betul alasan mengapa mereka mengikuti suatu aliran atau ajaran tertentu, sehingga motivasi yang terbangun adalah motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik.

 

Diane juga menyatakan bahwa arti asli dari kata disiplin ini juga berkonotasi dengan disiplin diri dari murid-murid Socrates dan Plato. Disiplin diri dapat membuat seseorang menggali potensinya  menuju kepada sebuah tujuan, sesuatu yang dihargai dan bermakna. Dengan kata lain, disiplin diri juga mempelajari bagaimana cara kita mengontrol diri, dan bagaimana menguasai diri untuk memilih tindakan yang mengacu pada nilai-nilai yang kita hargai.


 

Dengan kata lain, seseorang yang memiliki disiplin diri berarti mereka bisa bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya karena mereka mendasarkan tindakan  mereka pada nilai-nilai kebajikan  universal. Dalam hal ini Ki Hajar menyatakan;

 

“...pertanggungjawaban atau verantwoordelijkheld itulah selalu menjadi sisihannya hak atau kewajiban dari seseorang yang pegang kekuasaan atau pimpinan dalam umumnya. Adapun  artinya  tidak lain ialah orang tadi harus mempertanggungjawabkan dirinya serta tertibnya laku diri dari segala hak dan kewajibannya.

 

(Ki    Hajar     Dewantara,       pemikiran,        Konsepsi,                         Keteladanan,        Sikap Merdeka, Cetakan Kelima, 2013, Halaman 469)

 

Sebagai pendidik, tujuan kita adalah menciptakan anak-anak yang memiliki disiplin diri sehingga mereka bisa berperilaku dengan mengacu pada nilai-nilai kebajikan universal dan memiliki motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik.

 

Referensi:

Restitution: Restructuring School Discipline, Diane Chelsom Gossen, 2001, New View Publications, North Canada

Ki  Hajar  Dewantara;Pemikiran,  Konsepsi,  Keteladanan,  Sikap  Merdeka,2013, UST-Press bekerjasama dengan Majelis Luhur Tamansiswa

 

,

Indah sekali bukan pemikiran-pemikiran tentang konsep disiplin di atas. Mari kita bayangkan alangkah  indahnya  ketika  tercipta  masyarakat  yang  bisa  saling belajar,  yang  saling  merasa  terikat  dan  terhubungkan  satu  sama  lain;  karena masyarakat seperti itu akan mengambil tanggung jawab untuk pembelajarannya, senantiasa selalu berusaha untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya.  Itulah tujuan dari disiplin diri.

 

Bapak Ibu calon guru penggerak,

Mari kita tanyakan ke diri kita sendiri,

bagaimana kita berperilaku?

Mengapa kita melakukan segala sesuatu?

Apakah kita melakukan sesuatu karena adanya dorongan  dari  lingkungan,

atau  ada  dorongan  yang  lain?   

Terkadang  kita sesuatu karena kita menghindari rasa sakit atau ketidaknyamanan, Terkadang kita Juga melakukan sesuatu untuk mendapatkan apa yang kita mau.

 

Bagaimana menurut Anda?

Pernahkah Anda melakukan sesuatu untuk mendapat senyuman dari orang lain?

Untuk mendapat hadiah?

Untuk mendapatkan uang?


Apa lagi kira-kira alasan orang melakukan sesuatu? Untuk mengetahui lebih jauh lagi mengenai motivasi manusia,  mari kita baca artikel ini:

 

3 Motivasi Perilaku Manusia

 

Diane       Gossen       dalam       bukunya                Restructuring                School                Discipline, menyatakan ada 3 alasan motivasi perilaku manusia:

 

1.           Untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman

Ini adalah tingkat terendah dari motivasi perilaku manusia. Biasanya orang yang motivasi perilakunya untuk menghindari hukuman atau ketidaknyamanan, akan bertanya, apa yang akan terjadi apabila saya     tidak     melakukannya?     Sebenarnya     mereka     sedang menghindari permasalahan yang mungkin muncul dan berpengaruh pada mereka secara fisik, psikologis, maupun tidak terpenuhinya kebutuhan mereka, bila mereka tidak melakukan tindakan tersebut.

 

2.           Untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain. Satu tingkat di atas motivasi yang pertama, disini orang berperilaku untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain. Orang dengan motivasi ini akan bertanya, apa yang akan saya dapatkan apabila saya melakukannya? Mereka melakukan sebuah tindakan untuk mendapatkan pujian dari orang lain yang menurut mereka penting dan mereka letakkan dalam dunia berkualitas mereka.  Mereka  juga  melakukan  sesuatu  untuk  mendapatkan hadiah, pengakuan, atau imbalan.

 

3.           Untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya

Orang dengan motivasi ini akan bertanya, akan menjadi orang yang seperti apa bila saya melakukannya?. Mereka melakukan sesuatu karena nilai-nilai yang mereka yakini dan hargai, dan mereka melakukannya karena mereka ingin menjadi orang yang melakukan nilai-nilai yang mereka yakini tersebut. Ini adalah motivasi yang akan membuat seseorang memiliki disiplin positif karena motivasi berperilakunya bersifat internal, bukan eksternal.

 

Pernahkan Anda berada dalam sebuah situasi dimana anda sengaja melakukan sesuatu yang menyakitkan bagi anda, bahkan bertabrakan dengan penghargaan dari orang lain? Mengapa anda


Text Box: tetap memilih melakukannya padahal anda tahu akibatnya akan menyakitkan, anda mungkin akan dikecam secara sosial, bahkan ada  kerugian  secara  finansial?  Apa  prinsip-prinsip  yang  anda perjuangkan dan anda lindungi?  Saat itu, anda sedang menjadi orang yang seperti apa?

 

 

Bapak Ibu calon guru penggerak,

Tujuan dari disiplin positif adalah menanamkan motivasi yang ketiga pada murid- murid kita yaitu untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya. Ketika murid-murid kita memiliki motivasi tersebut, mereka telah memiliki motivasi intrinsik yang berdampak jangka panjang,  motivasi  yang  tidak  akan  terpengaruh  pada  adanya  hukuman  atau hadiah. Mereka akan tetap berperilaku baik dan berlandaskan nilai-nilai kebajikan karena mereka ingin menjadi orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai yang mereka hargai.

 

Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana cara kita sebagai guru untuk menanamkan disiplin positif yang positif ini kepada murid-murid kita?


2.3 Keyakin Kelas

Pertanyaan Pemantik:

·       Mengapa Keyakinan Kelas, mengapa tidak peraturan kelas saja?

·       Mengapa adanya Keyakinan Kelas penting untuk terbentuknya sebuah budaya positif?

·       Bagaimana mewujudkan sebuah Keyakinan Kelas yang efektif?

 

Bapak dan Ibu para calon guru penggerak,

Setiap tindakan atau perilaku yang kita lakukan di dalam kelas dapat menentukan terciptanya  sebuah  lingkungan  positif.  Perilaku  warga  kelas  tersebut  menjadi sebuah kebiasaan, yang akhirnya membentuk sebuah budaya positif. Untuk terbentuknya budaya positif pertama-tama perlu diciptakan dan disepakati keyakinan-keyakinan atau prinsip-prinsip dasar bersama di antara para warga kelas. Hal ini berkaitan dengan modul 1.2 dan modul 1.3 yang membahas tentang nilai-nilai kebajikan dan visi sebuah sekolah yang perlu  ada untuk menentukan arah    tujuan    dari    sebuah    institusi/sekolah.    Penyatuan    pemikiran    untuk mendapatkan nilai-nilai kebajikan serta visi sekolah tersebut kemudian diturunkan di kelas-kelas menjadi keyakinan kelas yang disepakati bersama.

 

Mengapa keyakinan kelas, mengapa tidak peraturan kelas saja?

Pertanyaan berikut adalah, “Mengapa kita memiliki peraturan tentang penggunaan  helm  pada  saat  mengendarai  kendaraan  roda  dua/motor?Kemungkinan  jawaban  Anda  adalah  untuk  keselamatan.  Pertanyaan  berikut adalah, “Mengapa kita memiliki peraturan tentang penggunaan masker dan mencuci tangan setiap saat? Mungkin jawaban Anda adalah untuk kesehatan dan/atau keselamatan”.

Nilai-nilai keselamatan atau kesehatan inilah yang kita sebut sebagai suatu keyakinan, yaitu nilai-nilai kebajikan atau prinsip-prinsip universal yang disepakati bersama secara universal, lepas dari latar belakang suku, negara, bahasa maupun agama. Menurut Gossen (1998), suatu keyakinan akan lebih memotivasi seseorang dari dalam, atau memotivasi secara intrinsik. Seseorang akan lebih tergerak dan bersemangat untuk menjalankan keyakinannya, daripada hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan. Murid-murid pun demikian, mereka


perlu mendengarkan dan mendalami tentang suatu keyakinan, daripada hanya mendengarkan peraturan-peraturan yang mengatur mereka harus berlaku begini atau begitu.

 

Pembentukan Keyakinan Kelas:

·       Keyakinan kelas bersifat lebih ‘abstrak’ daripada peraturan, yang lebih rinci

dan konkrit.

·       Keyakinan kelas berupa pernyataan-pernyataan universal.

·       Pernyataan keyakinan kelas senantiasa dibuat dalam bentuk positif.

·       Keyakinan kelas hendaknya tidak terlalu banyak, sehingga mudah diingat dan dipahami oleh semua warga kelas.

·       Keyakinan kelas sebaiknya sesuatu yang dapat diterapkan di lingkungan tersebut.

·       Semua warga kelas hendaknya ikut berkontribusi dalam pembuatan keyakinan kelas lewat kegiatan curah pendapat.

·       Bersedia meninjau kembali keyakinan kelas dari waktu ke waktu.


2.4 Pemenuhan Kebutuhan Dasar

Pertanyaan Pemantik:

Ibu Ambar, guru wali kelas kelas 2A di SD Pelita Hati, sedang bingung menghadapi ulah salah satu murid di kelasnya, Doni. Beberapa anak di kelas 2A telah datang padanya dan mengeluhkan Doni yang seringkali meminta bekal makan siang mereka dengan paksa. Jika Anda menghadapi situasi seperti Ibu Ambar, apa yang akan anda lakukan? Menurut anda, kira-kira apa alasan Doni melakukan hal itu?

Bapak dan Ibu Calon Guru Penggerak,

Merujuk pada situasi yang sedang dihadapi Ibu Ambar di atas, dalam konteks penegakan disiplin positif, Ibu Ambar sebaiknya mencari tahu alasan Doni melakukan tindakan tersebut agar mengetahui kebutuhan mana  yang sedang berusaha dipenuhi oleh Doni. Mari kita melihat sebuah konsep 5 Kebutuhan Dasar Manusia menurut Dr. William Glasser dalam “Choice Theory”.

Text Box: 5 Kebutuhan Dasar Manusia

Seluruh tindakan manusia memiliki tujuan tertentu. Semua yang kita lakukan adalah usaha terbaik kita untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Ketika kita mendapatkan apa yang kita inginkan, sebetulnya saat itu kita sedang memenuhi satu atau lebih dari satu kebutuhan dasar kita, yaitu kebutuhan untuk bertahan hidup  (survival),  cinta  dan  kasih   sayang   (love   and  belonging),   kebebasan (freedom), kesenangan (fun), dan kekuasaan (power). Ketika seorang murid melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan, atau melanggar peraturan, hal itu sebenarnya dikarenakan mereka gagal memenuhi kebutuhan dasar mereka. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat satu persatu kelima kebutuhan dasar ini.


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kebutuhan Bertahan Hidup

Kebutuhan bertahan hidup (survival) adalah kebutuhan yang bersifat fisiologis untuk bertahan hidup misalnya kesehatan, rumah, dan makanan. Seks sebagai bagian dari proses reproduksi termasuk kebutuhan untuk tetap bertahan hidup. Komponen psikologis pada kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan perasaan aman. Dalam kasus Doni di atas, apabila jawaban Doni ketika ditanya oleh Ibu Ambar adalah karena ia lapar dan orangtuanya tidak membawakannya bekal makan siang, maka kebutuhan dasar yang sedang berusaha dipenuhi oleh Doni, adalah kebutuhan untuk bertahan hidup (survival).

 

Cinta dan kasih sayang (Kebutuhan untuk Diterima)

Kebutuhan ini dan tiga kebutuhan berikutnya adalah kebutuhan psikologis. Kebutuhan untuk mencintai dan memiliki meliputi kebutuhan akan hubungan dan koneksi sosial, kebutuhan untuk memberi dan menerima kasih sayang dan kebutuhan untuk merasa menjadi bagian dari suatu kelompok. Kebutuhan ini juga meliputi keinginan untuk tetap terhubung dengan orang lain, seperti teman, keluarga, pasangan hidup, teman kerja, binatang peliharaan, dan kelompok dimana kita tergabung.

 

Anak-anak yang memiliki kebutuhan dasar cinta dan kasih sayang yang tinggi biasanya ingin disukai dan diterima oleh lingkungannya. Mereka juga akrab dengan orang tuanya. Biasanya mereka belajar karena suka pada gurunya. Bagi mereka, teman sebaya sangatlah penting. Mereka juga biasanya suka bekerja dalam kelompok.

Dalam kasus diatas, apabila Doni menjawab bahwa alasannya mengambil bekal temannya karena dia merasa senang temannya jadi memperhatikan dia. Ketika temannya melaporkan tindakannya itu pada gurunya, dan gurunya memberitahu orang tuanya, sehingga orang tuanya jadi memperhatikan dia, maka kebutuhan dasar yang sedang dipenuhi Doni adalah kebutuhan akan cinta dan kasih sayang.

 

Penguasaan (Kebutuhan Pengakuan atas Kemampuan)

Kebutuhan ini berhubungan dengan kekuatan untuk  mencapai  sesuatu, menjadi kompeten, menjadi terampil, diakui atas prestasi dan keterampilan kita, didengarkan dan memiliki rasa harga diri. Kebutuhan ini meliputi keinginan untuk dianggap  berharga,  bisa  membuat  perbedaan,  bisa membuat pencapaian, kompeten, diakui, dihormati. Ini meliputi self esteem, dan keinginan untuk meninggalkan pengaruh.

Anak-anak yang memiliki kebutuhan dasar akan kekuasaan yang tinggi biasanya  selalu  ingin  menjadi  pemimpin,  mereka  juga  suka  mengamati sebelum mencoba hal baru dan merasa kecewa bila melakukan kesalahan. Mereka juga biasanya rapi dan sistematik dan selalu Ingin mencapai yang terbaik


Dalam kasus diatas, apabila jawaban Doni adalah dia merasa hebat karena temannya jadi takut dengan dia dan menuruti keinginannya, maka sebetulnya Doni sedang berusaha memenuhi kebutuhan dasarnya akan kekuasaan.

 

Kebebasan (Kebutuhan Akan Pilihan)

Kebutuhan untuk bebas adalah kebutuhan akan kemandirian, otonomi, memiliki pilihan dan mampu mengendalikan arah hidup seseorang. Anak- anak dengan kebutuhan kebebasan yang tinggi menginginkan pilihan, mereka perlu banyak bergerak, suka mencoba-coba, tidak terlalu terpengaruh orang lain dan senang mencoba hal baru dan menarik.

Bila jawaban Doni dalam kasus diatas adalah bahwa dia merasa bosan dengan bekal makanan yang dibawakan ibunya dari rumah, karena ibunya selalu membawakan bekal yang sama, oleh karena itu dia ingin mencoba makanan teman-temannya yang beraneka ragam, maka Doni sedang berusaha memenuhi kebutuhannya akan kebebasan/freedom.

 

Kesenangan (Kebutuhan untuk merasa senang)

Kebutuhan akan kesenangan adalah kebutuhan  untuk  mencari kesenangan, bermain, dan tertawa. Bayangkan hidup tanpa kenikmatan apa pun, betapa menyedihkan. Glasser menghubungkan kebutuhan akan kesenangan dengan belajar. Semua hewan dengan tingkat intelegensi tinggi (anjing, lumba-lumba, primata, dll) bermain. Saat mereka bermain, mereka mempelajari keterampilan hidup yang penting. Manusia tidak berbeda.

Anak-anak dengan kebutuhan dasar kesenangan yang tinggi biasanya Ingin menikmati apa yang dilakukan. Mereka juga konsentrasi tinggi saat mengerjakan hal yang disenangi. Mereka suka permainan dan suka mengoleksi barang, suka bergurau, suka melucu dan juga menggemaskan, bahkan saat bertingkah laku buruk.

Dalam kasus diatas, bila Doni menjawab bahwa ia melakukannya karena iseng saja dan ia menikmati ekspresi wajah teman-temannya yang kesal karena diambil makanannya dan menurut dia, ekspresi teman-temannya itu lucu. Maka berarti Doni sedang berusaha memenuhi kebutuhannya akan kesenangan.

 

Disarikan dari berbagai sumber


Bapak Ibu Calon Guru Penggerak,

Semua orang  senantiasa  berusaha  untuk  memenuhi  kebutuhannya  dengan berbagai cara. Bila mereka tidak bisa  mendapatkan  kebutuhannya  dengan  cara yang positif, mereka akan mencoba mendapatkannya dengan cara yang negatif. Seorang murid yang tidak begitu berhasil secara akademik mungkin kebutuhannya akan kekuasaan tidak terpenuhi di sekolah. Oleh karena itu, mungkin dia akan mencoba  untuk  memenuhi  kebutuhan   kekuasaannya,   dengan   mencoba mengatur  orang lain di lapangan bermain, atau bahkan menyakiti mereka secara fisik. Sebagai guru, kita dapat melibatkannya dalam  kegiatan  yang  memberi peluang murid tersebut membuat pencapaian yang berarti.

 

Seorang yang tidak merasa diterima oleh teman-temannya, kebutuhannya akan cinta dan kasih sayang tidak terpenuhi, oleh karena itu dia mungkin akan memiliki satu teman dan memisahkan diri yang lain. Sebagai guru, kita bisa membangun hubungan yang bisa membangun kepercayaan dan keintiman dengan anak ini.

 

Bagaimana Bapak Ibu, apakah sekarang sudah paham perbedaan dari kelima kebutuhan dasar?  Glasser menyatakan bahwa kapasitas untuk berubah ada di dalam diri kita. Jika kita dapat mengidentifikasi kebutuhan apa yang mendorong perilaku kita, maka perubahan perilaku positif dapat dimulai dengan mencari solusi untuk memenuhi kebutuhan tertentu dengan cara yang positif daripada cara yang negatif.

 

Bapak dan Ibu CGP,

Setelah  belajar  tentang  3  Motivasi  Perilaku  Manusia  dan  5  Kebutuhan  Dasar Manusia untuk memahami  alasan-alasan yang mendasari  tindakan  manusia, mari kita  belajar  1  konsep  lagi  yaitu  tentang  Dunia  Berkualitas  dengan  membaca deskripsi di bawah ini:

Text Box: Dunia Berkualitas

Dunia Berkualitas Anda adalah tempat khusus dalam pikiran Anda, tempat Anda menyimpan gambaran representasi dari semua yang Anda inginkan:  bisa  berisi  orang-orang,  hal-hal  dan  apa  saja  yang  terbaik dalam hidup Anda dan membuat Anda merasa bahagia dan terpenuhi kebutuhan dasar Anda. Dr. William Glasser menyebutnya seperti semacam, album foto sehingga isinya tidak akan terlalu banyak, hanya akan terdiri dari beberapa hal saja yang sangat signifikan dan benar- benar terbaik dalam hidup Anda yang membuat hidup Anda menjadi lebih bermakna. Kebutuhan dasar itu bersifat lebih umum dan universal, sedangkan dunia berkualitas lebih unik dan personal.


Orang, tempat, benda, nilai-nilai, dan kepercayaan yang penting bagi Anda akan termasuk di sana. Untuk masuk ke Dunia Kualitas, syaratnya adalah bahwa sesuatu itu harus terasa sangat baik bagi Anda dan memenuhi setidaknya satu atau lebih kebutuhan dasar Anda. Dalam menentukan segala sesuatu yang masuk dalam dunia berkualitas, tidak perlu kita terlalu mempertimbangkan standar masyarakat tentang apa saja yang penting dan yang tidak. Gambaran Dunia Berkualitas adalah unik dan spesifik untuk setiap orang. Jika Anda bisa hidup di Dunia Kualitas Anda, hidup akan sempurna buat Anda, tapi sayangnya, Anda tidak bisa tinggal di sana.

 

Murid   kita   juga   mempunyai   gambaran   dunia   berkualitas   mereka. Tentunya sebagai guru kita ingin mereka memasukkan hal-hal yang bermakna dan nilai-nilai kebajikan yang hakiki ke dalam dunia berkualitas mereka. Bila guru dapat membangun interaksi yang memberdayakan dan memerdekakan murid, maka murid akan meletakkan dirinya sendiri sebagai individu yang positif dalam dunia berkualitas karena mereka menghargai nilai-nilai kebajikan.

 

Disarikan dari Berbagai Sumber


2.5 Lima Posisi Kontrol

 

Pertanyaan Pemantik:

Bacalah   kasus-kasus   di   bawah   ini,   dan   cobalah   jawab   pertanyaan- pertanyaan yang tersedia:

·       Tisa dan Hana dipanggil masuk ke ruangan Ibu Dewi, kepala sekolah SMA Makmur. Ibu Dewi baru saja mendapatkan pengaduan dari ibunda Tisa, bahwa Hana menggunakan kata-kata kasar, dan merendah-rendahkan Tisa di sosial media.

·       Anto jarang sekali hadir di pembelajaran jarak jauh, dan pada saat hadir pun, Anto seringkali menggunakan kata-kata kasar di kolom chat mengejek  teman-temannya.  Hal  ini  sudah  sangat  mengganggu  dan beberapa   orang   tua   murid   yang   mengikuti   pembelajaran   daring mengeluhkan tentang perilaku Anto di pembelajaran jarak jauh.

 

Bila Anda adalah guru, penerapan disiplin apakah yang akan Anda lakukan untuk kasus Hana dan kasus Anto? Mengapa?

Bahas dengan rekan CGP Anda, dan bandingkan jawaban Anda, apakah berbeda, atau sama? Bila berbeda, utarakan masing-masing pandangan Anda.

 

Bapak dan Ibu Calon Guru Penggerak,

Berikut ini akan disampaikan suatu model disiplin yang berpusat pada murid, yang dikembangkan oleh Diane Gossen dengan pendekatan Restitusi, yang disebut dengan 5 Posisi Kontrol.

 

Lima Posisi Kontrol:

Diane  Gossen  dalam  bukunya   Restitution-Restructuring  School  Discipline (1998)  mengemukakan  bahwa  guru  perlu  meninjau  kembali  penerapan disiplin di dalam ruang-ruang kelas kita selama ini. Apakah telah efektif, apakah berpusat memerdekakan dan memandirikan murid, bagaimana dan mengapa? Melalui serangkaian riset dan bersandar pada teori Kontrol Dr. William Glasser, Gossen berkesimpulan ada 5 posisi kontrol yang diterapkan seorang guru, orang tua  ataupun atasan dalam melakukan kontrol. Kelima posisi kontrol tersebut adalah Penghukum, Pembuat Orang Merasa Bersalah, Teman, Monitor (Pemantau) dan Manajer. Mari kita tinjau lebih dalam kelima posisi kontrol ini:

 

Penghukum: Seorang penghukum bisa menggunakan hukuman fisik maupun verbal.   Orang-orang   yang   menjalankan   posisi   penghukum,   senantiasa mengatakan bahwa sekolah memerlukan sistem atau alat yang dapat lebih menekan murid-murid lebih dalam lagi. Guru-guru yang menerapkan posisi penghukum akan berkata:

“Patuhi aturan saya, atau awas!” Kamu selalu saja salah!

“Selalu, pasti selalu yang terakhir selesai”

Guru seperti ini senantiasa percaya hanya ada satu cara agar pembelajaran bisa berhasil, yaitu cara dia.

 

Pembuat Orang Merasa Bersalah: pada posisi ini biasanya guru akan bersuara lebih lembut. Pembuat orang merasa bersalah akan menggunakan keheningan yang membuat orang lain merasa tidak nyaman, bersalah, atau rendah diri. Kata-kata yang keluar dengan lembut akan seperti:

“Ibu sangat kecewa sekali dengan kamu”

“Berapa kali Bapak harus memberitahu kamu ya?”

“Gimana coba, kalau orang tua kamu tahu kamu berbuat begini?

Di posisi ini murid akan memiliki penilaian diri yang buruk tentang diri mereka, murid merasa tidak berharga, dan telah mengecewakan orang-orang disayanginya.

 

Teman: Guru pada posisi ini tidak akan menyakiti murid, namun akan tetap berupaya mengontrol murid melalui persuasi. Posisi teman pada guru bisa negatif  ataupun  positif.  Positif  di  sini  berupa  hubungan  baik  yang  terjalin antara guru dan murid. Guru di posisi teman menggunakan hubungan baik dan humor untuk mempengaruhi seseorang. Mereka akan berkata:

“Ayo bantulah, demi bapak ya?”

Ayo ingat tidak bantuan Bapak selama ini?

“Ya sudah kali ini tidak apa-apa. Nanti Ibu bantu bereskan”.

Hal negatif dari posisi teman adalah bila suatu saat guru tersebut tidak membantu maka murid akan kecewa dan berkata, “Saya pikir bapak/Ibu teman saya”. Murid merasa dikecewakan, dan tidak mau lagi berusaha, Hal lain yang mungkin timbul adalah murid hanya akan bertindak untuk guru tertentu, dan tidak untuk guru lainnya. Murid akan tergantung pada guru tersebut.

Monitor/Pemantau: Memonitor berarti mengawasi. Pada saat kita mengawasi, kita  bertanggung  jawab  atas  perilaku  orang-orang  yang  kita  awasi.  Posisi pemantau berdasarkan pada peraturan-peraturan dan konsekuensi. Dengan menggunakan sanksi/konsekuensi, kita dapat memisahkan hubungan pribadi kita dengan murid, sebagai seseorang yang menjalankan posisi pemantau. Pertanyaan yang diajukan seorang pemantau:

“Peraturannya apa?”

Apa yang telah kamu lakukan?

“Sanksi atau konsekuensinya apa?”

Seorang  pemantau  sangat  mengandalkan  penghitungan,   catatan,   data yang dapat digunakan sebagai bukti atas perilaku seseorang. Posisi ini akan menggunakan stiker, slip catatan, daftar cek. Posisi monitor sendiri berawal dari  teori  stimulus-respon, yang menunjukkan tanggung jawab  guru  dalam mengontrol murid.

 

Manajer: Posisi terakhir, Manajer, adalah posisi mentor di mana guru berbuat sesuatu bersama dengan murid, mempersilakan murid mempertanggungjawabkan  perilakunya,  mendukung  murid  agar  dapat menemukan  solusi  atas  permasalahannya  sendiri.  Seorang  manajer  telah memiliki keterampilan di posisi teman maupun pemantau, dan dengan demikian,  bisa  jadi  di  waktu-waktu  tertentu  kembali  kepada  kedua   posisi tersebut bila diperlukan. Namun bila kita menginginkan murid-murid kita menjadi manusia yang merdeka, mandiri dan bertanggung jawab, maka kita perlu mengacu kepada Restitusi yang dapat menjadikan murid kita seorang manajer  bagi  dirinya  sendiri.   Di  manajer,  murid  diajak  untuk  menganalisis kebutuhan dirinya, maupun kebutuhan orang lain. Disini penekanan bukan pada kemampuan membuat konsekuensi, namun dapat  berkolaborasi dengan murid bagaimana memperbaiki kesalahan yang ada.  Seorang manajer akan berkata:

Apa yang kita yakini? (kembali ke keyakinan kelas) Apakah kamu meyakininya?

Jika      kamu     menyakininya,         apakah       kamu             bersedia  memperbaikinya? Jika kamu memperbaiki ini, hal ini menunjukkan apa tentang dirimu?

Apa rencana kamu untuk memperbaiki hal ini?

Tugas  seorang  manajer  bukan  untuk  mengatur  perilaku  seseorang.  Kita membimbing   murid   untuk   dapat   mengatur   dirinya.   Seorang   manajer bukannya memisahkan murid dari kelompoknya, tapi mengembalikan murid tersebut ke kelompoknya dengan lebih baik dan kuat.

 

Bisa jadi dalam praktik penerapan disiplin sehari-hari, kita akan kembali ke posisi Teman atau Pemantau, karena murid yang ditangani belum siap diajak berdiskusi  atau  diundang  melakukan  restitusi.  Namun  perlu  disadari  tujuan

akhir dari 5 posisi kontrol seorang guru adalah pencapaian posisi Manajer, di mana di posisi inilah murid dapat menjadi pribadi yang mandiri, merdeka, dan bertanggung jawab atas segala perilaku dan sikapnya, yang pada akhirnya dapat menciptakan lingkungan yang positif, nyaman, dan aman.

 

Di bawah ini adalah contoh peragaan yang dikutip dari Yayasan Pendidikan Luhur (2007) di mana ada seorang murid yang melanggar suatu peraturan sekolah. Selanjutnya ada dialog antara seorang guru dengan murid tersebut, serta bagaimana guru tersebut menjalankan disiplin dengan menggunakan kelima posisi kontrol untuk kasus yang sama:

 

Adi yang terlambat hadir di sekolah.

 

Penghukum (Nada suara tinggi, bahasa tubuh: mata melotot, dan jari menunjuk-nunjuk menghardik):

“Terlambat lagi, pasti terlambat lagi, selalu datang terlambat, kapan bisa datang tepat waktu?”

Tanyakan kepada diri Anda:

Bagaimana perasaan murid bila guru berbicara seperti itu pada saat muridnya datang terlambat?

Akibat:

Kemungkinan murid marah dan mendendam atau bersifat  agresif.  Bisa  jadi  sesudah kembali duduk, murid tersebut akan mencoret-coret bukunya atau meja tulisnya. Lebih buruk lagi, sepulang sekolah, murid melihat motor atau mobil bapak/ibu guru dan akan menggores kendaraan tersebut dengan paku.

 

Pembuat orang lain merasa bersalah (Nada suara memelas/halus/sedih, bahasa tubuh: merapat pada anak, lesu):

“Adi, kamu ini bagaimana ya? Kamu sudah berjanji dengan ibu tidak akan terlambat lagi. Kamu kenapa ya senang sekali mengecewakan Ibu. Ibu benar-benar kecewa sekali.” Bagaimana perasaan murid bila ditegur seperti cara ini?

Akibat:

Murid akan merasa bersalah. Bersalah telah mengecewakan ibu atau bapak gurunya. Murid akan merasa menjadi orang yang gagal dan tidak sanggup membahagiakan orang lain. Kadangkala sikap seperti ini lebih berbahaya dari sikap penghukum, karena emosi akan tertanam rapat di dalam, murid menahan perasaan. Tidak seperti murid dalam dengan guru penghukum, di mana murid bisa menumpahkan amarahnya  walaupun dengan cara negatif. Murid tertekan seperti inilah yang tiba-tiba bisa meletus amarahnya, dan bisa menyakiti diri sendiri atau orang lain.

 

Teman (nada suara: ramah, akrab, dan bercanda, bahasa tubuh: merapat pada murid, mata dan senyum jenaka)

“Adi, ayolah, bagaimana sih kamu. Kemarin kamu sudah janji ke bapak bukan, kenapa terlambat lagi? (sambil tertawa ringan). Ya, sudah tidak apa-apa, duduk dulu sana. Nanti Pak Guru bantu. Kamu ini.” (sambil senyum-senyum).

Bagaimana perasaan murid dengan sikap guru seperti ini?

Akibat:


Murid akan merasa senang dan akrab dengan guru. Ini termasuk dampak yang positif, hanya saja di sisi negatif murid menjadi tergantung pada guru tersebut. Bila ada masalah, dia merasa bisa mengandalkan guru tersebut untuk membantunya. Akibat lain dari posisi teman, Adi hanya akan berbuat sesuatu bila yang menyuruh adalah guru tersebut, dan belum tentu berlaku yang sama dengan guru atau orang lain.

 

Pemantau (nada suara datar, bahasa tubuh yang formal): Guru: “Adi, tahukah kamu jam berapa kita memulai?”

Adi:    “Tahu Pak!”

Guru: “Kamu terlambat 15 menit, apakah kamu sudah mengerti apa yang harus dilakukan bila terlambat?”

Adi:    “Paham Pak, saya harus tinggal kelas pada jam istirahat nanti dan mengerjakan

tugas ketertinggalan saya.”

Guru:  “Ya,  benar,  nanti  pada  saat  jam  istirahat  kamu  harus  sudah   di  kelas  untuk

menyelesaikan tugas yang tertinggal tadi. Saya tunggu”

Bagaimana perasaan murid diperlakukan seperti ini?

Akibat:

Murid memahami sanksi yang harus dijalankan karena  telah  melanggar  salah  satu peraturan sekolah. Guru tidak menunjukkan suatu emosi yang berlebihan, menjadi marah atau membuat merasa berbuat salah.  Murid tetap  dibuat  tidak  nyaman  yaitu  dengan harus tinggal kelas pada waktu jam istirahat dan mengerjakan tugas. Guru tetap harus memonitor atau memantau murid pada saat mengerjakan tugas di jam istirahat  karena murid tidak bisa ditinggal seorang diri.

 

Manajer (nada suara tulus, bahasa tubuh tidak kaku, mendekat ke murid): Guru: Adi, apakah kamu mengetahui jam berapa sekolah dimulai?  Adi:      “Tahu Pak, jam 7:00!”

Guru: “Ya, jadi kamu terlambat, kira-kira bagaimana kamu akan memperbaiki masalah

ini?”

Adi: “Saya bisa menanyakan teman saya Pak, untuk mengejar tugas yang tertinggal.” Guru: “Baik, itu bisa dilakukan. Apakah besok akan ada masalah untuk kamu agar bisa hadir tepat waktu ke sekolah?”

Adi:     “Tidak Pak, saya bisa hadir tepat waktu.”

Guru:   “Baik. Saya hargai usahamu untuk memperbaiki diri”

Bagaimana perasaan murid diperlakukan seperti ini?

 

Pada posisi Manajer maka suara guru sebaiknya tulus. Tidak perlu marah, tidak perlu meninggikan suara, apalagi menunjuk-nunjuk jari ke murid, berkacak pinggang, atau bersikap seolah-olah menyesal, tampak sedih sekali akan perbuatan murid ataupun bersenda       gurau        menempatkan        diri        sebagai        teman        murid. Fokus adalah pada murid, bukan untuk membahagiakan guru atau orang tua. Murid sudah mengetahui adanya suatu masalah, dan sesuatu perlu terjadi. Bila guru mengambil posisi Pemantau, guru akan melihat apa sanksinya apa peraturannya? Namun pada posisi Manajer, guru akan mengembalikan tanggung jawab pada  murid  untuk  mencari jalan keluar permasalahannya, tentu dengan bimbingan guru.

 

 

 

 

5 POSISI KONTROL RESTITUSI

Motivasi

MOTIVASI EKSTERNAL

MOTIVASI INTRINSIK

IDENTITAS GAGAL

IDENTITAS BERHASIL/SUKSES

PERILAKU KONTROL NEGATIF

PERILAKU KONTROL POSITIF

KONTROL DIRI

 

PENGHUKUM

PEMBUAT ORANG MERASA BERSALAH

TEMAN

PEMANTAU

MANAJER

Guru Berbuat:

Menghardik Menunjuk- nunjuk Menyakiti Menyindir

Berceramah Menunjukkan kekecewaan mendalam

Membuatkan alasan-alasan untuk     murid- muridnya.

Menghitung dan mengukur

Mengajukan pertanyaan- pertanyaan

Guru Berkata:

“Kalau kamu tidak melakukannya, saya akan…”

“Kamu sudah mengecewakan Ibu/Bapak”

“Lakukan untuk Bapak/Ibu”

“Ya sudah nanti Bapak/Ibu bantu

bereskan”

“Apa peraturannya?” “Apa

konsekuensinya/sanksinya?” “Apa yang telah kamu lakukan?”

Apa yang terjadi sekarang?”

Apa yang kita yakini? Apa kamu meyakini hal tersebut?”

“Kalau kamu meyakininya, kamukah kamu

memperbaikinya?” “Kalau kami memperbaikinya, jadi kira-kira hal tersebut akan menggambarkan apa tentang

dirimu?”

Hasilnya:

Memberontak Pendendam Menyalahkan orang lain

Menyembunyi- kan Menyangkal Berbohong

Ketergantungan

Menyesuaikan bila diawasi.

Menguatkan watak/karakter

Murid Berkata:

“Saya tidak peduli”

“Maafkan saya”.

“Saya pikir Bapak/Ibu teman saya”

Saya akan dapat berapa bintang kalau melakukan hal tersebut?”

“Jika sudah melakukan hal

tersebut, saya akan

mendapatkan apa?”

Bagaimana caranya agar saya bisa memperbaiki keadaan ini?

“Saya akan memperbaiki masalah ini dengan…”

Dampak pada Murid:

Mengulangi kesalahan berulang kali. Perilaku menjadi agresif

Rendah diri Merasa gagal dan tidak berharga

Tergantung Tidak mandiri dan tidak bisa memutuskan

Menitikberatkan pada dampak pada diri sendiri, mendapatkan hadiah atau mendapatkan hukuman.

Mengevaluasi diri Bagaimana menjadi  diri  yang lebih baik


Motivasi

MOTIVASI EKSTERNAL

MOTIVASI INTRINSIK

IDENTITAS GAGAL

IDENTITAS BERHASIL/SUKSES

PERILAKU KONTROL NEGATIF

PERILAKU KONTROL POSITIF

KONTROL DIRI

 

PENGHUKUM

PEMBUAT ORANG MERASA BERSALAH

TEMAN

PEMANTAU

MANAJER

Kaitan dengan Dunia Berkualitas

Murid meletakkan guru   di   luar Dunia Berkualitas.

Murid meletakkan guru di dalam Dunia Berkualitas.

Murid meletakkan guru sebagai orang penting dalam Dunia Berkualitas.

Murid meletakkan guru, peraturan di Dunia Berkualitas.

Murid meletakkan dirinya sebagai individu yang positif dalam Dunia Berkualitas.


2.6 Segitiga Restitusi

 


Pertanyaan Pemantik

Bapak Ibu calon guru penggerak, apa yang akan Anda lakukan bila,

·       Dalam sebuah acara pesta ulang tahun, teman Anda memecahkan gelas. Apakah Anda akan membiarkan dia membayar harga gelas yang dipecahkannya?

·       Anda sudah janji bertemu dengan teman Anda, namun ternyata dia juga memiliki janji penting bertemu orang lain di tempat lain, dan Anda terpaksa naik taksi untuk menemui teman Anda di tempat itu, apakah Anda akan meminta  teman  Anda  membayar  biaya  taksi  Anda  menuju  ke  tempat tersebut?

·       Pegawai Anda membuat kesalahan yang menyebabkan kerugian finansial pada perusahaan, pegawai tersebut menawarkan untuk bekerja lembur tanpa bayaran, apakah Anda sebagai pemilik perusahaan akan menerimanya?

 

Eksplorasi Mandiri

Bapak dan Ibu Calon Guru Penggerak,

Bila ada seseorang berbuat salah pada Anda, ketika mereka menawarkan sebuah tindakan untuk memperbaiki kesalahan mereka, kemungkinan besar, jawaban Anda adalah akan menolak semua tawaran itu, dan akan bilang, tidak usah, tidak apa-apa. Lupakan saja.

 

Kebiasaan kita selama ini, bila ada orang yang berlaku salah pada kita adalah langsung memaafkan, atau membuat mereka tidak nyaman. Kita cenderung untuk berfokus pada kesalahan daripada mencari cara bagi mereka untuk memperbaiki diri. Kita lebih fokus pada bagaimana cara mereka membayar ketidaknyamanan yang disebabkan oleh kesalahan mereka daripada mengembalikan harga diri mereka. Membuat kondisi menjadi  impas,  menjadi  lebih  penting  daripada  membuat  situasi  menjadi benar.

 

Bapak Ibu guru penggerak,

Sebagai seorang guru, ketika murid Anda melakukan kesalahan, tindakan mana yang akan Anda lakukan?

·       Anda menunjukkan kesalahannya dan memintanya melihat kesalahannya baik-baik?

·       Anda mengatakan, “Kamu seharusnya tahu bagaimana kamu seharusnya bertindak”.

·       Anda mengingatkan murid Anda akan kesalahannya yang sama di waktu sebelumnya.

·       Anda akan bertanya padanya, “Kenapa kamu melakukan sesuatu yang

seharusnya tidak kamu lakukan?.

·       Anda akan mengkritik dia dan mendiamkannya?

 

Kalau Anda melakukan tindakan-tindakan di atas, mungkin Anda akan membuat murid Anda merasa menjadi anak yang gagal.

 

 

 

Pertanyaannya sekarang, bagaimana kita sebaiknya respon kita bila  ada murid kita melakukan kesalahan? Mari kita baca artikel ini:

Restitusi

Sebuah Cara Menanamkan disiplin positif Pada Murid

 

Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004)

 

Restitusi  juga  adalah  proses  kolaboratif  yang  mengajarkan  murid  untuk mencari solusi untuk masalah, dan membantu murid berpikir tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen, 1996).

 

Restitusi membantu murid menjadi lebih memiliki tujuan, disiplin positif, dan memulihkan dirinya setelah berbuat salah. Penekanannya bukanlah pada bagaimana berperilaku untuk menyenangkan orang lain atau menghindari ketidaknyamanan,   namun   tujuannya   adalah   menjadi   orang   yang menghargai nilai-nilai kebajikan yang mereka percayai.  Sebelumnya kita telah  belajar  tentang  teori  kontrol  bahwa  pada  dasarnya,  kita  memiliki motivasi intrinsik.

 

Melalui restitusi, ketika murid berbuat salah, guru akan menanggapi dengan cara yang memungkinkan murid untuk membuat evaluasi internal tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk  memperbaiki kesalahan mereka dan mendapatkan kembali harga dirinya. Restitusi menguntungkan korban,

tetapi  juga  menguntungkan  orang  yang  telah  berbuat  salah.  Ini  sesuai dengan prinsip dari teori kontrol William Glasser tentang solusi menang- menang.

 

Ada peluang luar biasa bagi murid untuk bertumbuh ketika mereka melakukan kesalahan, bukankah pada hakikatnya begitulah cara kita belajar.  Murid perlu bertanggung jawab atas perilaku yang mereka pilih, namun mereka  juga  dapat  memilih untuk  belajar dari  pengalaman dan membuat pilihan yang lebih baik di waktu yang akan datang. Ketika guru memecahkan masalah perilaku mereka, murid akan kehilangan kesempatan untuk mempelajari keterampilan yang berharga untuk hidup mereka.

 

Di bawah ini adalah ciri-ciri  restitusi  yang  membedakannya  dengan program disiplin lainnya.

·     Restitusi bukan untuk menebus kesalahan, namun untuk belajar dari kesalahan

Dalam restitusi, ketika murid berbuat salah, guru tidak mengarahkan untuk    menebus    kesalahan    dengan    membayar    sejumlah    uang, memperbaiki kerugian yang timbul, atau sekedar meminta maaf. Karena kalau fokusnya kesana, maka murid yang berbuat salah akan fokus pada tindakan untuk menebus kesalahan dan menghindari ketidaknyamanan, yang bersifat eksternal, bukannya pada upaya perbaikan diri, yang lebih bersifat internal. Biasanya setelah menebus kesalahan, orang yang berbuat salah akan merasa sudah selesai dengan situasi itu sehingga merasa lega, dan seolah-olah kesalahan tidak pernah terjadi.

 

Terkadang bisa juga muncul perasaan ingin balas dendam, bila orang yang berbuat salah sebetulnya merasa tidak rela harus melakukan sesuatu untuk menebus kesalahannya. Kalau tindakan untuk menebus kesalahan dipahami sebagai hukuman, maka mungkin mereka berpikir untuk membuat situasinya menjadi impas.  Pembalasan seperti ini akan berdampak   jangka   panjang   karena   konfliknya   akan   tetap   ada. Menebus kesalahan itu tidak salah, namun biasanya tidak membuat kita menjadi pribadi yang lebih kuat.

 

Restitusi  sebenarnya  juga  meliputi  usaha  untuk  menebus  kesalahan, tetapi sebaiknya merupakan inisiatif dari murid yang melakukan kesalahan. Proses pemulihan akan terjadi bila ada keinginan dari murid yang berbuat salah untuk melakukan sesuatu yang menunjukkan rasa penyesalannya. Fokusnya tidak hanya pada mengurangi kerugian pada


korban,  tapi  juga  bagaimana  menjadi  orang  yang  lebih  baik  dan melakukan hal baik pada orang lain dengan kebaikan yang ada dalam diri kita.

 

Ketika murid belajar dari kesalahan untuk menjadi lebih baik untuk masa depan, mereka akan mendapatkan pelajaran yang mereka bisa pakai terus menerus di masa depan untuk menjadi orang yang lebih baik.

 

·     Restitusi memperbaiki hubungan

Restitusi adalah tentang memperbaiki hubungan dan memperkuatnya. Restitusi juga membantu murid-murid dalam hal mereka ingin menjadi orang seperti apa dan bagaimana mereka ingin diperlakukan. Restitusi adalah proses refleksi dan pemulihan. Proses ini menciptakan kondisi yang aman bagi murid untuk menjadi jujur pada diri mereka sendiri dan mengevaluasi dampak dari tindakan mereka pada orang lain. Ketika proses pemulihan dan evaluasi diri telah selesai, mereka bisa mulai berpikir tentang apa yang bisa dilakukan untuk menebus kesalahan mereka pada orang yang menjadi korban.

 

·     Restitusi adalah tawaran, bukan paksaan

Restitusi yang dipaksa bukanlah restitusi yang sebenarnya, tapi konsekuensi. Bila guru memaksa proses restitusi, maka murid akan bertanya,  apa  yang  akan  terjadi  kalau  saya  tidak  melakukannya. Misalnya mereka sebenarnya tidak  suka  konsekuensi  yang  guru sarankan, mereka  mungkin akan setuju dan akan melakukannya, tapi karena mereka menghindari ketidaknyamanan atau menghindari kehilangan kebebasan atau diasingkan dari kelompok. Mereka akan percaya  kalau  mereka  menyakiti  orang,  maka  mereka  juga  tersakiti, maka mereka  pikir itu impas. Seorang anak yang memukul  temannya akan mengatakan, “Kamu boleh pukul aku balik, biar impas”. Memaksa melakukan restitusi bertentangan dengan perkembangan moral, yaitu kebebasan untuk membuat pilihan. Oleh karena itu, penting bagi guru untuk menciptakan kondisi yang membuat murid bersedia menyelesaikan masalah dan berbuat lebih baik lagi, dengan berkata, “Tidak apa-apa kok berbuat salah itu manusiawi. Semua orang pasti pernah berbuat salah”. Pembicaraan ini bersifat  tawaran,  bukan paksaan, bukan mengatakan, “Kamu harus lakukan ini, kalau tidak maka…”

 

·     Restitusi menuntun untuk melihat ke dalam diri


Dalam proses restitusi kita akan melihat adanya ketidakselarasan antara tindakan murid yang berbuat salah dan keyakinan mereka tentang orang seperti apa yang mereka inginkan. Untuk membimbing proses pemulihan diri, guru bisa bertanya pada mereka:

·       Kamu ingin menjadi orang seperti apa?

·       Kamu akan terlihat, terdengar, dan terasa seperti apa kalau kamu sudah menjadi orang yang seperti itu?

·       Apa      yang      kamu      percaya        tentang            bagaimana           orang            harus memperlakukan orang lain?

·       Bagaimana kamu mau diperlakukan ketika kamu berbuat salah?

·       Apa nilai yang diajarkan di keluargamu tentang hal ini? Apakah kamu memegang nilai ini?

·       Kalau tidak, lalu apa yang kamu percaya?

 

Kita tidak ingin menciptakan rasa bersalah pada diri anak dengan bertanya seperti itu. Kalau guru melihat rasa bersalah di wajah murid, maka guru harus cepat-cepat mengatakan, “Tidak apa-apa kok berbuat salah”.

 

Ketika murid sudah dibimbing untuk mengeksplorasi orang seperti apa yang mereka inginkan, guru bisa mulai bertanya tentang kejadiannya,  seberapa sering hal ini terjadi,  apa yang ia lakukan, ia berada di mana.  Murid tidak akan berbohong pada guru.

 

Restitusi mencari kebutuhan dasar yang mendasari tindakan

Untuk berpindah dari evaluasi diri ke restitusi diri, penting bagi murid untuk memahami dampak dari tindakannya pada orang lain. Kalau  murid paham bahwa setiap orang memiliki kebutuhan dasar untuk dipenuhi, hal ini akan sangat membantu, sehingga ketika murid melakukan kesalahan, mereka akan menyadari kebutuhan apa yang  sedang  mereka  coba penuhi, demikian juga kebutuhan orang lain.

 

Untuk membantu murid mengenali kebutuhan dasarnya, guru bisa meminta mereka mengenali perasaan mereka. Perasaan sedih dan kesepian menunjukkan  adanya  kebutuhan  cinta  dan  kasih  sayang  yang  tidak terpenuhi.  Perasaan  dipaksa,  atau  terlalu  banyak  beban,  menunjukkan kurangnya kebutuhan akan kebebasan. Perasaan takut akan kelelahan, kelaparan, menunjukkan pada kita kalau kita merasa tidak aman. Perasaan bosan menunjukkan kurang terpenuhinya kebutuhan akan  kesenangan.

 

Restitusi diri adalah cara yang paling baik


Dalam   restitusi   diri   murid   belajar   untuk   mengubah   kebiasaan   dari kecenderungan untuk mengomentari orang lain,  menjadi mengomentari diri sendiri. Dr. William Glasser menyatakan, orang yang bahagia akan mengevaluasi diri sendiri, orang yang tidak  bahagia  akan  mengevaluasi orang lain.

Text Box: 3 Tahap Evaluasi Diri:

1.	Saya tidak suka cara saya berbicara padamu
2.	Kesalahan yang saya lakukan adalah
•	Saya sebenarnya punya informasi yang kamu butuhkan
•	Saya lelah dan saya bicara terlalu cepat
•	Saya tidak jelas menyampaikan apa yang saya inginkan
•	Pemahaman saya berbeda dengan pemahamanmu
3.	Besok lagi saya akan
•	Menyampaikan informasi yang saya punya dan kamu butuhkan
•	Saya akan bicara lebih lambat
•	Saya akan bicara lebih jelas tentang keinginan saya
•	Menyampaikan pemahaman saya padamu

 

Ketika murid bisa melakukan restitusi diri maka dia akan bisa mengontrol dirinya dengan lebih baik dengan tujuan yang lebih baik pula.

 

Ketika Anda berhadapan dengan orang lain, dan melakukan evaluasi diri, maka 9 dari 10 orang yang diajak bicara juga akan melakukan evaluasi diri juga. Mungkin akan ada 1 dari 10 orang yang diajak bicara, justru akan menggunakan kesempatan itu untuk menghukum Anda. Kalau ini terjadi, tanyakan  saja,  apakah  Anda  mau  menggunakan  kesempatan  ini  untuk menjelek-jelekkan saya atau Anda mau membuat situasi ini menjadi lebih baik. Anda mau ke arah mana?

 

Restitusi fokus pada karakter bukan tindakan

Dalam proses restitusi diri, maka murid akan menyadari dia sedang menjadi orang  yang  seperti  apa,  yang  itu  adalah  menunjukkan  fokus    pada penguatan karakter. Ketika guru membimbing murid untuk penguatan karakter, guru akan mengatakan, “Ibu/Bapak tidak terlalu mempermasalahkan apa yang kamu lakukan hari ini, tetapi mari kita bicara tentang apa yang akan kamu lakukan besok.  Kamu bisa saja minta maaf, tapi orang akan lebih suka mendengar apa yang akan kamu lakukan dengan lebih baik lagi.


 

Restitusi menguatkan

Bisakah momen ketika murid melakukan kesalahan menjadi sebuah momen yang baik? Jawabnya, tentu bisa, asalkan ia bisa belajar dari kesalahan itu. Apa  maksud  dari  kalimat  kita  bisa  lebih  kuat  setelah  kita  belajar  dari kesalahan?  Lebih  kuat  disini  maksudnya  bukan  menekan  perasaan  kita dalam-dalam. Kuat disini artinya menyadari apa yang bisa murid ubah, dan murid benar-benar mengubahnya. Guru bisa bertanya, apa yang dapat kamu ubah dari dirimu sendiri? Bagaimana kamu akan berubah?

 

Restitusi fokus pada solusi

Dalam restitusi, guru  menstabilkan  identitas  murid  dengan mengatakan, “Kita tidak fokus pada kesalahan, Bapak/ibu tidak tertarik untuk mencari siapa yang benar, siapa yang salah.

 

Restitusi mengembalikan murid yang berbuat salah pada kelompoknya Mari kita lihat praktik pendidikan kita yang seringkali memisahkan anak-anak dari kelompoknya, misalnya seorang anak TK bersikap tidak kooperatif pada saat kegiatan mendengar dongeng dari gurunya,  anak  itu  disuruh  keluar dari kelompoknya, atau anak itu diminta duduk di belakang kelas atau di pojok  kelas,  disuruh  keluar  kelas  ke  koridor,  ke  kantor  guru,  seringkali dibiarkan tanpa pengawasan.

Kalau  ada  anak  remaja  nakal,  orangtua  menyuruh  pergi  dari  rumah. Padahal kalau mereka jauh dari orang tuanya, orang tuanya jadi tidak bisa mengajari  mereka  dan  mereka  tidak  belajar  nilai-nilai  kebajikan.  Kalau mereka tidak belajar, bagaimana nasib generasi kita ke depan? Kalau kita menjauhkan remaja kita, maka  mereka akan putus hubungan dengan kita.

Ketika anak berbuat salah, kita tidak bisa memotivasi anak untuk menjadi baik, kita hanya bisa menciptakan kondisi agar mereka bisa melihat  ke dalam diri mereka. Kita seharusnya mengajari mereka untuk menyelesaikan masalah mereka, dan berusaha mengembalikan  mereka  ke  kelompok mereka dengan karakter yang lebih kuat.

 

Disarikan dari Buku It’s All About WE; Rethinking Discipline using Restitution,

Third Edition, Diane Gossen, 2008

Bapak Ibu CGP,

Setelah Anda mengetahui tentang apa itu restitusi, tentunya Anda ingin mengetahui bagaimana cara melakukanya. Diane Gossen dalam bukunya Restitution; Restructuring School Discipline, 2001 telah merancang sebuah tahapan untuk memudahkan para guru dan orangtua dalam melakukan proses untuk menyiapkan anaknya untuk melakukan restitusi, bernama


segitiga restitusi/restitution triangle. Proses ini meliputi tiga tahap dan setiap tahapnya berdasarkan pada prinsip penting dari Teori Kontrol, yaitu

 

Langkah

Teori Kontrol

1

Menstabilkan Identitas

Stabilize the Identity

Kita semua akan melakukan hal terbaik yang bisa kita lakukan

2

Validasi Tindakan yang Salah

Validate the Misbehaviour

Semua perilaku memiliki alasan

3

Menanyakan Keyakinan Seek the Belief

Kita semua memiliki motivasi internal

 

Ketiga strategi tersebut direpresentasikan dalam 3 sisi segitiga restitusi. Langkah-langkah itu tidak harus dilakukan satu persatu. Banyak guru yang sudah menggunakannya dalam berbagai versi menurut gaya mereka masing-masing bahkan tanpa mengetahui tentang teori restitusi.

https://lh4.googleusercontent.com/2iTzqLH7_TCj7Or8eXmq9wgqBLxd05aKmy0yzO9g70ur8GjxJ1cJU2N3GZdEEwQN3sg7J6VbHnA6npkplkmoqC2XyuJR5-v7vgz6NycTjnBJDz7KBXcPcNdAvbRX44U6-Whi9XM

 

 

 

 

 

 

 

1.      Menstabilkan Identitas/Stabilize the identity

Bagian dasar dari segitiga bertujuan untuk mengubah identitas anak dari  orang yang gagal  karena  melakukan  kesalahan menjadi  orang yang sukses. Anak yang sedang mencari perhatian adalah anak yang sedang mengalami kegagalan. Dia mencoba untuk memenuhi kebutuhan dasarnya namun ada benturan. Kalau kita mengkritik dia, maka kita akan tetap membuatnya dalam posisi gagal. Kalau kita ingin ia menjadi proaktif, maka kita harus meyakinkan si anak, dengan cara mengatakan kalimat-kalimat ini:

 

 

·       Berbuat salah itu tidak apa-apa.

·       Tidak ada manusia yang sempurna

·       Saya juga pernah melakukan kesalahan seperti itu.

·       Kita bisa menyelesaikan ini.

·       Bapak/Ibu tidak tertarik mencari siapa yang salah, tapi Bapak/Ibu ingin mencari solusi dari permasalahan ini.

·       Kamu berhak merasa begitu.

·       Apakah kamu sedang menjadi teman yang baik buat dirimu sendiri?

 

Kalau kita mengatakan kalimat-kalimat diatas, akan sangat sulit, bahkan hampir tidak mungkin, buat anak untuk tetap membangkang. Para guru yang bertugas mengawasi anak-anak saat mereka bermain di halaman sekolah, menyatakan bahwa bila mereka mengatakan kalimat tersebut yang mungkin hanya butuh 30 detik, bisa mengubah situasi yang sulit menjadi kooperatif.

 

Ketika seseorang merasa sedih dan emosional, mereka tidak bisa mengakses bagian otak yang berfungsi untuk berpikir rasional. Saat itulah ketika kita harus menstabilkan   identitas   anak.   Sebelum   terjadi   hal-hal   lain   yang   bisa memperburuk keadaan, kita sebaiknya membantu anak untuk tenang dan kembali ke suasana hati dimana proses belajar dan penyelesaian masalah bisa dilakukan.

 

Tentu akan sulit melakukan restitusi bila, anak yang berbuat salah terus berfokus pada kesalahannya. Ada 3 alasan untuk ini, pertama rasa bersalah menguras energi. Rasa bersalah membutuhkan energi yang  sama  dengan energi yang dibutuhkan untuk mencari penyelesaian masalah. Kedua, ketika kita merasa bersalah, kita mengalami identitas kegagalan. Dalam kondisi ini, orang akan cenderung untuk menyalahkan orang lain atau mempertahankan diri, daripada mencari solusi. Ketiga, perasaan bersalah membuat kita terperangkap pada masa lalu dimana kita sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kita hanya bisa mengontrol apa yang akan terjadi di masa kini dan masa datang.


Sisi 2: Validasi Tindakan yang Salah/ Validate the Misbehavior

Setiap   tindakan   kita   dilakukan   dengan   suatu   tujuan,   yaitu   memenuhi kebutuhan dasar. Kalau kita memahami kebutuhan dasar apa yang mendasari sebuah tindakan, kita akan bisa menemukan cara-cara paling efektif untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

 

Menurut Teori Kontrol semua tindakan manusia, baik atau buruk, pasti memiliki maksud/tujuan  tertentu.  Seorang  guru  yang  memahami  teori  kontrol  pasti akan mengubah pandangannya dari teori stimulus response ke cara berpikir proaktif yang mengenali tujuan dari setiap tindakan. Kita mungkin tidak suka sikap seorang anak yang terus menerus merengek, tapi  bila  sikap  itu mendapat perhatian kita, maka itu telah memenuhi kebutuhan anak tersebut. Kalimat-kalimat dibawah ini mungkin terdengar asing buat guru, namun bila dikatakan dengan nada tanpa menghakimi akan memvalidasi kebutuhan mereka.

·       “Padahal kamu bisa melakukan yang lebih buruk dari ini ya?”

·       “Kamu pasti punya alasan mengapa melakukan hal itu”

·       “Kamu patut bangga pada dirimu sendiri karena kamu telah melindungi

sesuatu yang penting buatmu”.

·       “Kamu boleh mempertahankan sikap itu, tapi kamu harus menambahkan sikap yang baru.”

Biasanya guru menyuruh anak untuk menghentikan sikap yang tidak baik, tapi teori  kontrol  menyatakan  bahwa  resep  itu  tidak  manjur. Mungkin  tindakan guru dengan memvalidasi sikap yang tidak baik seperti bertentangan dengan aturan yang ada.

 

Restitusi tidak menyarankan guru bicara ke murid bahwa melanggar aturan adalah sikap yang baik, tapi dalam restitusi guru harus memahami alasannya, dan paham bahwa setiap orang pasti akan melakukan yang terbaik di waktu tertentu. Sebuah pelanggaran aturan seringkali memenuhi kebutuhan anak akan kekuasaan/power walaupun seringkali bertabrakan dengan kebutuhan yang lain, yaitu kebutuhan akan cinta dan kasih sayang/love and belonging. Kalau kita tolak anak yang sedang berbuat salah, dia akan tetap menjadi bagian dari masalah. namun bila kita memahami alasannya melakukan sesuatu, maka dia akan merasa dipahami.

 

Para guru yang telah menerapkan strategi ini mengatakan bahwa anak-anak yang tadinya tidak terjangkau,  menjadi lebih terbuka pada mereka. Strategi ini menguntungkan bagi murid dan guru karena guru akan berada dalam posisi siswa, dan karena itu akan memiliki perspektif yang berbeda.


Sisi Ketiga: Menanyakan Keyakinan/Seek the Belief

Teori kontrol menyatakan bahwa kita pada dasarnya termotivasi secara internal. Ketika identitas sukses telah tercapai (langkah 1) dan tingkah laku yang salah telah divalidasi (langkah 2), maka anak akan siap untuk dihubungkan dengan nilai-nilai yang dia percaya, dan berpindah menjadi orang yang dia inginkan. Pertanyaan-pertanyaan di bawah ini menghubungkan keyakinan anak dengan keyakinan kelas atau keluarga.

·       Apa yang kita percaya sebagai kelas atau keluarga?

·       Apa nilai-nilai umum yang kita telah sepakati?

·       Apa bayangan kita tentang kelas yang ideal?

·       Kamu mau jadi orang yang seperti apa?

 

Penting untuk menanyakan ke anak, kehidupan seperti apa nantinya yang mereka inginkan?

Apakah kamu ingin menjadi orang yang sukses, bertanggung jawab, atau bisa dipercaya?

Kebanyakkan anak akan mengatakan “Iya,” Tapi mereka tidak tahu bagaimana  caranya  menjadi  orang  seperti  itu.  Guru  dapat  membantu dengan bertanya, seperti apa jika mereka jd orang seperti itu. ketika anak sudah  mendapat  gambaran  yang  jelas  tentang  orang  seperti  apa  yang mereka inginkan, guru dapat membantu anak-anak tetap fokus pada gambaran tersebut.

Komentar