PENERAPAN BUDAYA POSITIF
Irfan Nur Awaludin Mulyawan, S.Pd - CGP Angkatan 4 Kabupaten Bandung Barat
2.1 Perubahan Paradigma
Kegiatan Pemantik:
Anda dan teman Anda akan melakukan kegiatan ‘Cobalah
Buka’. Tugas Anda adalah mengepalkan salah satu tangan Anda. Coba Anda bayangkan bahwa Anda menyimpan sesuatu yang sangat berharga di dalam kepalan tangan Anda. Anda perlu menjaga benda tersebut sekuat tenaga Anda karena begitu pentingnya untuk kehidupan Anda.
Tugas rekan Anda adalah mencoba dengan segala cara untuk
membuka kepalan tangan Anda. Teman Anda boleh membujuk, menghardik, menggoda, bahkan menawari
Anda dengan uang agar Anda
bersedia membuka kepalan
tangan Anda.
Cobalah lakukan kegiatan ‘Cobalah Buka’ di atas dengan teman kerja Anda secara bergantian, masing-masing akan memiliki waktu 1 menit saja. Sesudah itu diskusikan kegiatan ini dan coba jawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini secara mandiri, dan
diskusikan kembali dengan rekan Anda. Bandingkan jawaban Anda, apakah berbeda, atau sama. Bilamana berbeda, kira-kira mengapa?
·
Kira-kira apakah Anda
akan membuka kepalan tangan Anda dengan bujukan, godaan, atau paksaan teman Anda? Mengapa?
·
Ataukah Anda akan
bertahan dan menolak membuka kepalan tangan sampai sekuat
tenaga Anda? Mengapa?
Untuk membangun budaya yang positif, sekolah perlu menyediakan lingkungan yang positif, aman, dan nyaman
agar murid-murid mampu berpikir, bertindak, dan mencipta dengan merdeka,
mandiri,
dan bertanggung jawab. Salah satu strategi yang perlu ditinjau ulang adalah bentuk disiplin yang dijalankan selama ini di sekolah-sekolah kita. Pembahasan disiplin kali ini akan meninjau teori yang dikemukakan oleh Diane Gossen. Sebelum kita gali lebih lanjut tentang teori Disiplin Restitusi dari Diane Gossen,
mari menyamakan model berpikir kita tentang disiplin itu sendiri. Lazimnya disiplin dikaitkan dengan
kontrol. Dalam hal ini kontrol guru dalam menghadapi murid.
Di bawah ini adalah paparan Dr. William Glasser dalam Control Theory, untuk meluruskan berapa miskonsepsi tentang kontrol:
· Ilusi guru mengontrol murid.
Pada dasarnya kita tidak
dapat memaksa murid untuk berbuat sesuatu jikalau murid tersebut memilih untuk tidak melakukannya. Walaupun tampaknya kita sedang mengontrol perilaku murid tersebut,
hal ini karena murid tersebut sedang mengizinkan dirinya dikontrol. Saat
itu bentuk kontrol guru menjadi kebutuhan dasar yang dipilih murid tersebut. Teori Kontrol
menyatakan bahwa semua perilaku memiliki
tujuan, bahkan terhadap perilaku yang tidak disukai.
· Ilusi bahwa semua penguatan
positif efektif dan bermanfaat. Penguatan positif atau bujukan adalah bentuk-bentuk kontrol. Segala usaha untuk mempengaruhi murid agar mengulangi suatu perilaku tertentu, adalah suatu usaha untuk mengontrol murid tersebut. Dalam
jangka waktu tertentu, kemungkinan murid tersebut akan menyadarinya dan mencoba untuk menolak bujukan kita, atau bisa jadi murid tersebut menjadi tergantung pada pendapat sang guru untuk berusaha.
· Ilusi bahwa kritik dan membuat orang merasa bersalah dapat menguatkan karakter.
Menggunakan kritik dan rasa bersalah untuk mengontrol murid menuju pada identitas gagal. Mereka belajar untuk merasa buruk tentang diri mereka. Mereka
mengembangkan dialog diri yang negatif. Kadang kala
sulit bagi guru untuk
mengidentifikasi bahwa mereka melakukan perilaku
ini, karena seringkali guru cukup menggunakan suara halus untuk menyampaikan pesan
negatif.
·
Ilusi bahwa orang dewasa memiliki
hak untuk memaksa.
Banyak orang dewasa yang
percaya bahwa mereka memiliki tanggung jawab untuk membuat murid-murid berbuat hal-hal tertentu. Apapun yang dilakukan dapat diterima, selama ada sebuah kemajuan berdasarkan sebuah pengukuran kinerja. Pada saat itu pula, orang dewasa akan menyadari bahwa perilaku memaksa tidak
akan efektif untuk jangka waktu panjang, dan sebuah hubungan permusuhan akan terbentuk.
Bagaimana seseorang bisa
berubah dari paradigma Stimulus-Respon kepada
pendekatan teori Kontrol? Stephen R. Covey (Principle-Centered Leadership, 1991) mengatakan bahwa,
“..bila kita ingin membuat kemajuan perlahan, sedikit-sedikit, ubahlah sikap atau perilaku Anda. Namun bila kita ingin memperbaiki cara-cara utama kita, maka kita perlu mengubah kerangka acuan kita. Ubahlah bagaimana Anda melihat dunia, bagaimana Anda berpikir tentang manusia, ubahlah paradigma Anda, skema pemahaman dan penjelasan aspek-aspek tertentu tentang realitas”.
Stimulus-Respon lawan Teori Kontrol:
Pandangan tentang Dunia
Stimulus-Respon tentang Dunia |
Teori Kontrol tentang
Dunia |
Realitas (kebutuhan) kita sama. |
Realitas (kebutuhan) kita berbeda. |
Semua orang
melihat hal yang
sama. |
Setiap orang
memiliki gambaran berbeda. |
Kita mencoba mengubah
orang agar berpandangan sama
dengan kita. |
Kita berusaha memahami pandangan orang lain tentang
dunia. |
Perilaku buruk dilihat sebagai
suatu kesalahan |
Semua perilaku memiliki tujuan. |
Orang lain
bisa mengontrol saya. |
Hanya Anda
yang bisa mengontrol diri Anda. |
Saya bisa mengontrol orang
lain. |
Anda tidak bisa mengontrol orang lain. |
Pemaksaan ada pada saat bujukan gagal. |
Kolaborasi dan
konsensus menciptakan pilihan-pilihan baru. |
Model Berpikir Menang/Kalah |
Model Berpikir
Menang-menang. |
2.2
Konsep Disiplin Positif dan Motivasi
Pertanyaan Pemantik:
Bagaimana cara membuat murid disiplin?
Siapakah yang bisa mendisiplinkan murid?
Apakah guru yang bisa mendisiplinkan murid?
Atau Kepala Sekolah?
Atau orangtua murid?
Atau murid itu sendiri?
Mengapa?
Bapak dan Ibu calon guru
penggerak,
Setelah memahami perbedaan
teori stimulus respons
dan teori kontrol
pada pembahasan sebelumnya, sekarang mari kita belajar tentang konsep disiplin positif yang merupakan unsur
utama dalam terwujudnya budaya positif yang kita cita- citakan di sekolah-sekolah kita.
Kebanyakan guru, sangat tertarik dengan topik pembahasan
tentang disiplin. Mereka berpendapat bahwa kalau saja anak-anak bisa disiplin, pasti mereka akan bisa belajar. Para guru juga berpendapat bahwa mendisiplinkan anak-anak adalah bagian yang paling menantang dari pekerjaan mereka.
Bagaimana dengan Bapak/Ibu
CGP?
Apakah Anda memiliki
pendapat yang sama?
Marilah kita baca artikel di bawah ini:
Dalam budaya
kita, makna kata ‘disiplin’ dimaknai menjadi sesuatu yang dilakukan seseorang pada orang lain untuk
mendapatkan kepatuhan. Kita cenderung menghubungkan kata ‘disiplin’ dengan
ketidaknyamanan.
Bapak Pendidikan kita,
Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa
“dimana ada kemerdekaan, disitulah
harus ada disiplin
yang kuat. Sungguhpun disiplin itu bersifat ”self discipline” yaitu kita sendiri yang mewajibkan
kita dengan sekeras-kerasnya, tetapi itu sama saja; sebab jikalau kita tidak cakap melakukan self discipline,
wajiblah penguasa lain mendisiplin
diri kita. Dan peraturan demikian itulah harus ada di dalam suasana yang merdeka.
(Ki Hajar Dewantara, pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka, Cetakan Kelima,
2013, Halaman 470)
Disitu Ki Hajar menyatakan bahwa
untuk mencapai kemerdekaan atau dalam konteks
pendidikan kita saat ini, untuk menciptakan murid yang merdeka,
syarat utamanya adalah harus ada disiplin yang kuat. Disiplin yang
dimaksud adalah disiplin diri, yang
memiliki motivasi internal. Jika kita tidak memiliki motivasi internal, maka kita memerlukan pihak lain untuk
mendisiplinkan kita atau motivasi
eksternal, karena berasal dari luar, bukan dari dalam diri kita sendiri.
Adapun definisi kata ‘merdeka’
menurut Ki Hajar adalah:
mardika iku jarwanya, nora mung lepasing pangreh, nging uga kuwat kuwasa amandiri priyangga (merdeka itu artinya; tidak hanya terlepas dari perintah; akan
tetapi juga cakap buat memerintah
diri sendiri)
Pemikiran Ki Hajar ini sejalan dengan
pandangan Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline, 2001. Diane menyatakan bahwa arti dari kata disiplin berasal
dari bahasa Latin, ‘disciplina’, yang artinya ‘belajar’. Kata ‘discipline’ juga berasal dari akar kata yang sama dengan ‘disciple’ atau murid/pengikut.
Untuk menjadi seorang murid, atau pengikut, seseorang harus paham betul alasan
mengapa mereka mengikuti suatu aliran atau ajaran
tertentu, sehingga motivasi yang terbangun adalah motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik.
Diane juga menyatakan bahwa arti asli dari kata disiplin ini juga berkonotasi dengan disiplin
diri dari murid-murid Socrates dan
Plato. Disiplin diri dapat
membuat seseorang menggali potensinya menuju kepada sebuah tujuan, sesuatu yang dihargai dan bermakna. Dengan kata lain, disiplin diri juga mempelajari bagaimana cara kita mengontrol diri, dan bagaimana
menguasai diri untuk memilih tindakan yang mengacu pada nilai-nilai yang kita hargai.
Dengan kata
lain, seseorang yang memiliki disiplin diri berarti mereka bisa bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya karena mereka mendasarkan tindakan mereka pada
nilai-nilai kebajikan universal. Dalam hal ini Ki Hajar menyatakan;
“...pertanggungjawaban atau verantwoordelijkheld itulah selalu menjadi sisihannya hak atau kewajiban dari
seseorang yang pegang kekuasaan atau pimpinan dalam umumnya. Adapun artinya tidak lain
ialah orang tadi harus mempertanggungjawabkan dirinya serta tertibnya
laku diri dari segala hak dan kewajibannya.
(Ki Hajar Dewantara, pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka, Cetakan
Kelima, 2013, Halaman
469)
Sebagai pendidik, tujuan kita adalah menciptakan
anak-anak yang memiliki disiplin diri
sehingga mereka bisa berperilaku dengan mengacu pada nilai-nilai kebajikan
universal dan memiliki
motivasi intrinsik, bukan
ekstrinsik.
Referensi:
Restitution: Restructuring School Discipline, Diane Chelsom Gossen, 2001, New View Publications, North Canada
Ki Hajar Dewantara;Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka,2013, UST-Press bekerjasama dengan Majelis Luhur Tamansiswa
,
Indah sekali bukan pemikiran-pemikiran tentang konsep
disiplin di atas. Mari kita bayangkan alangkah indahnya ketika tercipta
masyarakat
yang
bisa
saling belajar, yang saling merasa terikat dan terhubungkan satu sama lain; karena masyarakat seperti itu akan mengambil tanggung jawab untuk pembelajarannya, senantiasa selalu berusaha untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya. Itulah tujuan dari disiplin
diri.
Bapak Ibu calon guru penggerak,
Mari kita tanyakan ke diri kita sendiri,
bagaimana kita berperilaku?
Mengapa kita melakukan segala sesuatu?
Apakah kita melakukan
sesuatu karena adanya dorongan dari lingkungan,
atau ada dorongan yang lain?
Terkadang kita sesuatu karena kita menghindari rasa sakit atau
ketidaknyamanan, Terkadang kita Juga melakukan sesuatu untuk mendapatkan apa yang kita mau.
Bagaimana menurut Anda?
Pernahkah Anda melakukan
sesuatu untuk mendapat senyuman dari orang lain?
Untuk mendapat hadiah?
Untuk mendapatkan uang?
Apa lagi kira-kira alasan orang melakukan sesuatu? Untuk mengetahui lebih jauh lagi mengenai motivasi manusia, mari kita baca artikel ini:
3 Motivasi
Perilaku Manusia
Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline, menyatakan ada 3 alasan
motivasi perilaku manusia:
1.
Untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman
Ini adalah tingkat
terendah dari motivasi perilaku manusia. Biasanya orang yang motivasi perilakunya untuk menghindari hukuman
atau ketidaknyamanan, akan bertanya, apa yang akan terjadi apabila saya tidak melakukannya? Sebenarnya mereka sedang menghindari permasalahan yang mungkin muncul dan berpengaruh pada mereka secara fisik,
psikologis, maupun tidak terpenuhinya kebutuhan mereka, bila mereka tidak melakukan tindakan tersebut.
2.
Untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain. Satu tingkat
di atas motivasi yang pertama,
disini orang berperilaku untuk mendapatkan imbalan
atau penghargaan dari orang lain.
Orang dengan motivasi
ini akan bertanya,
apa yang akan saya dapatkan apabila saya melakukannya? Mereka melakukan sebuah tindakan untuk mendapatkan pujian dari orang lain yang menurut mereka penting
dan mereka letakkan
dalam dunia berkualitas mereka. Mereka juga melakukan
sesuatu untuk mendapatkan hadiah, pengakuan, atau imbalan.
3.
Untuk menjadi orang yang mereka inginkan
dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya
Orang dengan motivasi ini akan bertanya, akan menjadi orang yang seperti apa bila saya melakukannya?. Mereka melakukan sesuatu karena nilai-nilai yang mereka yakini dan hargai,
dan mereka melakukannya karena mereka ingin menjadi orang yang melakukan nilai-nilai yang mereka yakini tersebut. Ini adalah
motivasi yang akan membuat seseorang
memiliki disiplin positif
karena motivasi berperilakunya bersifat internal, bukan eksternal.
Pernahkan Anda berada dalam sebuah situasi
dimana anda sengaja melakukan sesuatu yang menyakitkan bagi anda, bahkan bertabrakan dengan penghargaan dari orang lain? Mengapa anda
Bapak Ibu calon guru penggerak,
Tujuan dari disiplin positif adalah menanamkan motivasi yang ketiga pada murid- murid kita yaitu untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya.
Ketika murid-murid kita memiliki motivasi tersebut, mereka telah memiliki motivasi intrinsik yang berdampak jangka panjang, motivasi yang tidak akan terpengaruh pada adanya hukuman atau hadiah. Mereka akan tetap berperilaku baik dan berlandaskan nilai-nilai kebajikan karena mereka ingin menjadi orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai yang mereka hargai.
Pertanyaannya sekarang
adalah bagaimana cara kita sebagai
guru untuk menanamkan disiplin positif yang positif ini kepada murid-murid kita?
2.3 Keyakin Kelas
Pertanyaan Pemantik:
·
Mengapa Keyakinan Kelas, mengapa tidak peraturan kelas saja?
·
Mengapa adanya
Keyakinan Kelas penting
untuk terbentuknya sebuah
budaya positif?
·
Bagaimana mewujudkan
sebuah Keyakinan Kelas yang efektif?
Bapak dan Ibu para calon guru penggerak,
Setiap tindakan atau
perilaku yang kita lakukan di dalam kelas
dapat menentukan terciptanya sebuah lingkungan positif. Perilaku warga kelas tersebut menjadi sebuah kebiasaan, yang akhirnya membentuk sebuah
budaya positif. Untuk terbentuknya budaya positif pertama-tama perlu diciptakan dan disepakati keyakinan-keyakinan atau prinsip-prinsip
dasar bersama di antara para warga kelas. Hal ini berkaitan dengan modul 1.2 dan modul 1.3 yang membahas tentang
nilai-nilai kebajikan dan visi sebuah sekolah yang perlu ada untuk menentukan arah tujuan dari sebuah institusi/sekolah. Penyatuan pemikiran untuk mendapatkan nilai-nilai kebajikan serta visi sekolah tersebut kemudian diturunkan di kelas-kelas menjadi keyakinan kelas yang disepakati bersama.
Mengapa keyakinan kelas, mengapa
tidak peraturan kelas saja?
Pertanyaan berikut adalah,
“Mengapa kita memiliki
peraturan tentang penggunaan helm pada saat mengendarai kendaraan
roda dua/motor?” Kemungkinan jawaban Anda adalah untuk ‘keselamatan’. Pertanyaan
berikut adalah, “Mengapa kita memiliki peraturan tentang
penggunaan masker dan mencuci tangan setiap saat?” Mungkin jawaban Anda adalah “untuk kesehatan dan/atau keselamatan”.
Nilai-nilai keselamatan
atau kesehatan inilah yang kita sebut sebagai suatu ‘keyakinan’, yaitu nilai-nilai kebajikan atau prinsip-prinsip universal yang disepakati bersama secara universal, lepas dari latar belakang suku, negara, bahasa maupun
agama. Menurut Gossen (1998), suatu keyakinan akan lebih memotivasi seseorang dari dalam, atau memotivasi
secara intrinsik. Seseorang akan lebih tergerak dan bersemangat untuk menjalankan keyakinannya, daripada hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan. Murid-murid pun demikian, mereka
perlu mendengarkan dan
mendalami tentang suatu keyakinan, daripada hanya mendengarkan peraturan-peraturan yang mengatur mereka harus berlaku
begini atau begitu.
Pembentukan Keyakinan Kelas:
·
Keyakinan kelas bersifat lebih ‘abstrak’ daripada
peraturan, yang lebih
rinci
dan konkrit.
·
Keyakinan kelas berupa pernyataan-pernyataan universal.
·
Pernyataan keyakinan kelas senantiasa dibuat dalam bentuk positif.
·
Keyakinan kelas hendaknya tidak terlalu banyak,
sehingga mudah diingat
dan dipahami oleh semua warga
kelas.
·
Keyakinan kelas sebaiknya sesuatu
yang dapat diterapkan di lingkungan tersebut.
·
Semua warga
kelas hendaknya ikut berkontribusi dalam pembuatan keyakinan kelas lewat kegiatan
curah pendapat.
·
Bersedia meninjau kembali keyakinan kelas dari waktu ke waktu.
2.4 Pemenuhan
Kebutuhan Dasar
Pertanyaan Pemantik:
Ibu Ambar, guru wali kelas kelas 2A di SD Pelita Hati,
sedang bingung menghadapi ulah salah satu murid di kelasnya, Doni.
Beberapa anak di kelas 2A telah datang padanya dan mengeluhkan Doni yang seringkali meminta bekal makan siang mereka dengan paksa.
Jika Anda menghadapi situasi seperti Ibu Ambar, apa yang akan anda lakukan? Menurut anda, kira-kira apa alasan Doni melakukan hal itu?
Bapak dan Ibu Calon Guru Penggerak,
Merujuk pada situasi yang sedang dihadapi Ibu Ambar di atas, dalam konteks penegakan disiplin
positif, Ibu Ambar sebaiknya mencari tahu alasan Doni melakukan tindakan tersebut
agar mengetahui kebutuhan
mana yang sedang berusaha dipenuhi oleh Doni. Mari kita melihat sebuah
konsep 5 Kebutuhan Dasar Manusia menurut
Dr. William Glasser
dalam “Choice Theory”.
Kebutuhan Bertahan
Hidup
Kebutuhan
bertahan hidup (survival) adalah
kebutuhan yang bersifat fisiologis untuk bertahan hidup misalnya kesehatan, rumah, dan makanan.
Seks sebagai bagian dari
proses reproduksi termasuk kebutuhan untuk tetap bertahan hidup. Komponen
psikologis pada kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan perasaan aman. Dalam kasus Doni di atas, apabila
jawaban Doni ketika
ditanya oleh Ibu Ambar
adalah karena ia lapar dan orangtuanya tidak membawakannya
bekal makan siang, maka kebutuhan dasar yang sedang berusaha dipenuhi oleh Doni, adalah kebutuhan untuk bertahan hidup (survival).
Cinta dan kasih sayang
(Kebutuhan untuk Diterima)
Kebutuhan ini dan tiga kebutuhan
berikutnya adalah kebutuhan psikologis. Kebutuhan untuk mencintai dan memiliki meliputi
kebutuhan akan hubungan
dan koneksi sosial,
kebutuhan untuk memberi
dan menerima kasih
sayang dan kebutuhan untuk merasa menjadi
bagian dari suatu kelompok. Kebutuhan ini juga meliputi
keinginan untuk tetap terhubung dengan orang lain, seperti teman, keluarga, pasangan hidup, teman
kerja, binatang peliharaan, dan kelompok dimana
kita tergabung.
Anak-anak yang memiliki kebutuhan
dasar cinta dan kasih sayang
yang tinggi biasanya ingin disukai dan diterima oleh
lingkungannya. Mereka juga akrab dengan
orang tuanya. Biasanya mereka belajar karena suka pada gurunya. Bagi mereka, teman sebaya sangatlah
penting. Mereka juga biasanya suka bekerja dalam kelompok.
Dalam kasus diatas, apabila Doni
menjawab bahwa alasannya mengambil bekal
temannya karena dia merasa senang temannya jadi memperhatikan dia. Ketika temannya
melaporkan tindakannya itu pada gurunya,
dan gurunya memberitahu orang tuanya, sehingga
orang tuanya jadi memperhatikan dia, maka kebutuhan
dasar yang sedang dipenuhi Doni adalah kebutuhan akan cinta dan kasih sayang.
Penguasaan (Kebutuhan Pengakuan atas Kemampuan)
Kebutuhan ini berhubungan dengan kekuatan untuk
mencapai sesuatu, menjadi kompeten, menjadi terampil, diakui
atas prestasi dan keterampilan kita, didengarkan dan memiliki rasa harga diri. Kebutuhan ini meliputi keinginan
untuk dianggap berharga,
bisa
membuat
perbedaan,
bisa membuat pencapaian, kompeten, diakui, dihormati.
Ini meliputi self esteem, dan keinginan untuk meninggalkan pengaruh.
Anak-anak yang memiliki kebutuhan
dasar akan kekuasaan
yang tinggi biasanya selalu ingin menjadi
pemimpin, mereka juga suka mengamati sebelum mencoba hal baru dan merasa kecewa bila
melakukan kesalahan. Mereka juga
biasanya rapi dan sistematik dan selalu Ingin mencapai yang terbaik
Dalam kasus
diatas, apabila jawaban Doni adalah dia merasa hebat karena temannya
jadi takut dengan dia dan menuruti keinginannya, maka sebetulnya Doni sedang berusaha
memenuhi kebutuhan dasarnya
akan kekuasaan.
Kebebasan (Kebutuhan Akan Pilihan)
Kebutuhan untuk bebas adalah kebutuhan akan kemandirian, otonomi,
memiliki pilihan dan mampu mengendalikan arah hidup seseorang. Anak- anak dengan kebutuhan
kebebasan yang tinggi menginginkan pilihan,
mereka perlu banyak bergerak, suka mencoba-coba, tidak terlalu terpengaruh orang lain dan senang mencoba
hal baru dan menarik.
Bila jawaban Doni dalam kasus diatas adalah
bahwa dia merasa bosan dengan bekal
makanan yang dibawakan ibunya dari rumah, karena ibunya selalu membawakan bekal yang sama, oleh karena itu dia ingin
mencoba makanan teman-temannya yang beraneka ragam, maka Doni sedang berusaha
memenuhi kebutuhannya akan kebebasan/freedom.
Kesenangan (Kebutuhan
untuk merasa senang)
Kebutuhan akan kesenangan adalah kebutuhan
untuk
mencari kesenangan, bermain, dan tertawa.
Bayangkan hidup tanpa kenikmatan apa pun, betapa menyedihkan. Glasser menghubungkan
kebutuhan akan kesenangan dengan
belajar. Semua hewan dengan tingkat
intelegensi tinggi (anjing, lumba-lumba, primata, dll) bermain. Saat mereka bermain,
mereka mempelajari keterampilan hidup yang penting.
Manusia tidak berbeda.
Anak-anak dengan kebutuhan dasar
kesenangan yang tinggi biasanya Ingin menikmati apa yang dilakukan. Mereka juga konsentrasi tinggi saat mengerjakan hal yang disenangi. Mereka suka permainan
dan suka mengoleksi barang, suka bergurau, suka
melucu dan juga menggemaskan, bahkan saat bertingkah laku buruk.
Dalam kasus diatas, bila Doni
menjawab bahwa ia melakukannya karena iseng
saja dan ia menikmati ekspresi wajah teman-temannya yang kesal karena
diambil makanannya dan menurut dia, ekspresi teman-temannya itu lucu. Maka
berarti Doni sedang berusaha memenuhi kebutuhannya akan kesenangan.
Disarikan dari berbagai sumber
Bapak Ibu Calon Guru Penggerak,
Semua orang senantiasa berusaha untuk
memenuhi
kebutuhannya
dengan berbagai
cara. Bila mereka tidak bisa mendapatkan
kebutuhannya dengan cara yang
positif, mereka akan mencoba mendapatkannya dengan cara yang negatif. Seorang murid yang tidak begitu berhasil
secara akademik mungkin kebutuhannya akan kekuasaan tidak terpenuhi di sekolah. Oleh karena itu, mungkin dia akan mencoba untuk
memenuhi
kebutuhan kekuasaannya, dengan
mencoba mengatur orang lain di
lapangan bermain, atau bahkan menyakiti mereka secara fisik. Sebagai guru, kita dapat melibatkannya dalam
kegiatan yang memberi peluang murid tersebut membuat
pencapaian yang berarti.
Seorang yang tidak merasa
diterima oleh teman-temannya, kebutuhannya akan cinta dan kasih sayang tidak
terpenuhi, oleh karena
itu dia mungkin akan memiliki
satu teman dan memisahkan diri yang lain. Sebagai guru, kita bisa
membangun hubungan yang bisa membangun kepercayaan dan keintiman dengan anak ini.
Bagaimana Bapak Ibu,
apakah sekarang sudah paham perbedaan dari kelima kebutuhan dasar? Glasser menyatakan bahwa kapasitas untuk berubah ada di dalam diri kita. Jika kita dapat mengidentifikasi
kebutuhan apa yang mendorong perilaku kita, maka perubahan perilaku positif
dapat dimulai dengan mencari solusi untuk memenuhi kebutuhan
tertentu dengan cara yang
positif daripada cara yang negatif.
Bapak dan Ibu CGP,
Setelah belajar tentang 3 Motivasi Perilaku Manusia dan 5
Kebutuhan Dasar Manusia untuk memahami
alasan-alasan yang mendasari
tindakan manusia, mari kita belajar 1 konsep lagi yaitu tentang Dunia Berkualitas dengan membaca deskripsi di bawah ini:
Orang, tempat, benda, nilai-nilai, dan
kepercayaan yang penting bagi Anda
akan termasuk di sana. Untuk masuk ke Dunia Kualitas, syaratnya adalah bahwa
sesuatu itu harus terasa sangat baik bagi Anda
dan memenuhi setidaknya satu
atau lebih kebutuhan dasar Anda. Dalam menentukan
segala sesuatu yang masuk dalam dunia berkualitas, tidak perlu kita terlalu mempertimbangkan standar masyarakat tentang
apa saja yang penting dan yang tidak. Gambaran Dunia Berkualitas adalah unik dan spesifik untuk setiap orang. Jika Anda
bisa hidup di Dunia Kualitas Anda, hidup akan sempurna buat Anda, tapi
sayangnya, Anda tidak bisa tinggal di sana.
Murid kita juga mempunyai gambaran dunia berkualitas mereka. Tentunya sebagai guru kita ingin mereka memasukkan
hal-hal yang bermakna dan nilai-nilai kebajikan yang hakiki ke dalam dunia berkualitas mereka.
Bila guru dapat membangun interaksi yang memberdayakan dan memerdekakan murid,
maka murid akan meletakkan dirinya
sendiri sebagai individu
yang positif dalam dunia berkualitas karena mereka menghargai nilai-nilai kebajikan.
Disarikan dari Berbagai Sumber
2.5 Lima Posisi Kontrol
Pertanyaan Pemantik:
Bacalah kasus-kasus di bawah ini, dan cobalah jawab pertanyaan- pertanyaan yang tersedia:
·
Tisa dan Hana dipanggil
masuk ke ruangan Ibu Dewi, kepala sekolah SMA
Makmur. Ibu Dewi baru saja mendapatkan pengaduan dari ibunda Tisa, bahwa
Hana menggunakan kata-kata kasar, dan merendah-rendahkan Tisa di sosial
media.
·
Anto jarang sekali hadir di pembelajaran jarak jauh, dan pada saat hadir pun, Anto seringkali menggunakan kata-kata kasar di kolom chat mengejek teman-temannya. Hal ini sudah sangat mengganggu dan beberapa orang tua murid yang mengikuti pembelajaran daring mengeluhkan tentang perilaku Anto di pembelajaran jarak jauh.
Bila Anda adalah guru, penerapan disiplin apakah yang akan
Anda lakukan untuk kasus
Hana dan kasus Anto? Mengapa?
Bahas dengan rekan CGP Anda, dan bandingkan jawaban Anda, apakah berbeda, atau sama? Bila
berbeda, utarakan masing-masing pandangan Anda.
Bapak dan Ibu Calon Guru Penggerak,
Berikut ini akan
disampaikan suatu model disiplin yang berpusat
pada murid, yang dikembangkan oleh Diane Gossen dengan pendekatan Restitusi,
yang disebut dengan 5 Posisi
Kontrol.
Lima
Posisi Kontrol:
Diane Gossen dalam bukunya Restitution-Restructuring School Discipline (1998) mengemukakan
bahwa guru perlu meninjau kembali penerapan disiplin di dalam ruang-ruang kelas kita selama ini. Apakah telah efektif,
apakah berpusat memerdekakan dan
memandirikan murid, bagaimana dan mengapa?
Melalui serangkaian riset dan bersandar
pada teori Kontrol
Dr. William Glasser,
Gossen berkesimpulan ada 5 posisi
kontrol yang diterapkan seorang guru, orang
tua ataupun atasan dalam melakukan
kontrol. Kelima posisi kontrol
tersebut adalah Penghukum, Pembuat Orang Merasa Bersalah, Teman, Monitor (Pemantau) dan Manajer. Mari kita tinjau lebih dalam kelima posisi kontrol ini:
Penghukum: Seorang penghukum bisa
menggunakan hukuman fisik maupun verbal. Orang-orang yang menjalankan posisi penghukum, senantiasa mengatakan bahwa sekolah
memerlukan sistem atau alat yang dapat lebih
menekan murid-murid lebih dalam lagi. Guru-guru yang menerapkan posisi penghukum
akan berkata:
“Patuhi aturan saya, atau awas!” “Kamu selalu saja salah!”
“Selalu, pasti selalu
yang terakhir selesai”
Guru seperti ini senantiasa percaya hanya ada satu cara agar pembelajaran bisa berhasil,
yaitu cara dia.
Pembuat Orang Merasa Bersalah:
pada posisi ini biasanya guru
akan bersuara lebih lembut. Pembuat orang merasa bersalah
akan menggunakan keheningan yang membuat orang lain merasa
tidak nyaman, bersalah, atau rendah diri. Kata-kata yang keluar dengan
lembut akan seperti:
“Ibu sangat kecewa sekali dengan kamu”
“Berapa kali Bapak harus memberitahu kamu ya?”
“Gimana coba, kalau orang tua kamu tahu kamu berbuat begini?”
Di posisi ini murid akan
memiliki penilaian diri yang buruk tentang diri mereka, murid merasa tidak berharga, dan telah mengecewakan orang-orang disayanginya.
Teman: Guru pada posisi ini
tidak akan menyakiti murid, namun
akan tetap berupaya mengontrol murid melalui persuasi. Posisi teman pada guru bisa negatif ataupun positif. Positif di sini berupa hubungan baik yang terjalin antara guru dan murid. Guru di posisi
teman menggunakan hubungan
baik dan humor untuk mempengaruhi seseorang. Mereka akan berkata:
“Ayo bantulah,
demi bapak ya?”
“Ayo ingat tidak bantuan Bapak selama ini?”
“Ya sudah kali ini tidak apa-apa.
Nanti Ibu bantu bereskan”.
Hal negatif dari posisi
teman adalah bila suatu saat guru tersebut tidak membantu maka murid akan kecewa dan berkata, “Saya pikir
bapak/Ibu teman saya”. Murid merasa
dikecewakan, dan tidak mau lagi berusaha, Hal
lain yang mungkin timbul adalah murid hanya akan bertindak untuk guru tertentu, dan tidak untuk guru lainnya.
Murid akan tergantung pada guru tersebut.
Monitor/Pemantau: Memonitor berarti mengawasi. Pada saat kita mengawasi, kita bertanggung jawab atas perilaku orang-orang yang kita awasi. Posisi pemantau berdasarkan pada peraturan-peraturan dan
konsekuensi. Dengan menggunakan sanksi/konsekuensi,
kita dapat memisahkan hubungan pribadi kita dengan murid, sebagai seseorang yang menjalankan posisi pemantau. Pertanyaan yang diajukan seorang pemantau:
“Peraturannya apa?”
“Apa yang telah kamu lakukan?”
“Sanksi atau konsekuensinya apa?”
Seorang pemantau
sangat
mengandalkan
penghitungan, catatan,
data yang dapat digunakan
sebagai bukti atas perilaku seseorang. Posisi ini akan menggunakan stiker, slip catatan, daftar cek. Posisi monitor
sendiri berawal dari teori stimulus-respon, yang menunjukkan tanggung jawab guru dalam mengontrol murid.
Manajer: Posisi terakhir, Manajer, adalah posisi mentor di mana guru berbuat sesuatu bersama dengan murid, mempersilakan murid mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung murid agar dapat menemukan solusi atas permasalahannya sendiri. Seorang manajer telah memiliki keterampilan di posisi teman maupun pemantau,
dan dengan demikian, bisa jadi di waktu-waktu tertentu kembali kepada kedua posisi tersebut bila diperlukan. Namun bila kita menginginkan murid-murid kita menjadi manusia yang merdeka, mandiri dan bertanggung jawab, maka kita perlu mengacu kepada Restitusi yang dapat menjadikan murid kita seorang manajer bagi dirinya sendiri. Di manajer, murid diajak untuk menganalisis kebutuhan
dirinya, maupun kebutuhan orang lain. Disini penekanan bukan pada kemampuan membuat
konsekuensi, namun dapat
berkolaborasi dengan murid bagaimana memperbaiki kesalahan yang ada.
Seorang manajer akan berkata:
“Apa yang kita yakini?” (kembali ke keyakinan kelas) “Apakah kamu meyakininya?”
“Jika kamu menyakininya, apakah kamu bersedia memperbaikinya?” “Jika kamu memperbaiki ini, hal ini menunjukkan apa tentang dirimu?”
“Apa rencana kamu untuk memperbaiki hal ini?”
Tugas seorang manajer bukan untuk mengatur perilaku seseorang. Kita membimbing murid untuk dapat mengatur dirinya. Seorang manajer bukannya
memisahkan murid dari kelompoknya, tapi mengembalikan murid tersebut ke kelompoknya dengan
lebih baik dan kuat.
Bisa jadi dalam praktik penerapan disiplin sehari-hari, kita akan kembali ke posisi Teman atau Pemantau, karena murid yang ditangani belum siap diajak berdiskusi atau diundang melakukan
restitusi. Namun perlu disadari tujuan
akhir dari 5 posisi kontrol seorang guru adalah pencapaian posisi Manajer, di mana di posisi inilah murid dapat menjadi pribadi yang mandiri, merdeka, dan bertanggung jawab atas segala perilaku dan sikapnya, yang pada akhirnya dapat menciptakan lingkungan yang positif, nyaman,
dan aman.
Di bawah ini adalah
contoh peragaan yang dikutip dari Yayasan Pendidikan Luhur (2007) di mana ada seorang murid yang melanggar suatu
peraturan sekolah. Selanjutnya ada dialog antara seorang guru dengan murid tersebut, serta bagaimana guru tersebut menjalankan disiplin dengan menggunakan kelima posisi
kontrol untuk kasus yang sama:
Adi yang terlambat hadir di sekolah.
Penghukum (Nada suara tinggi, bahasa tubuh: mata melotot, dan jari menunjuk-nunjuk menghardik):
“Terlambat lagi, pasti terlambat
lagi, selalu datang terlambat, kapan bisa datang tepat waktu?”
Tanyakan kepada
diri Anda:
Bagaimana perasaan murid bila
guru berbicara seperti itu pada saat muridnya datang terlambat?
Akibat:
Kemungkinan murid marah dan mendendam atau bersifat agresif.
Bisa jadi sesudah kembali
duduk, murid tersebut akan mencoret-coret bukunya atau meja tulisnya. Lebih buruk lagi, sepulang sekolah, murid
melihat motor atau mobil bapak/ibu guru dan akan menggores kendaraan tersebut
dengan paku.
Pembuat orang lain merasa bersalah (Nada suara memelas/halus/sedih, bahasa tubuh: merapat pada anak, lesu):
“Adi, kamu ini bagaimana ya? Kamu sudah
berjanji dengan ibu tidak akan terlambat lagi.
Kamu kenapa ya senang sekali mengecewakan
Ibu. Ibu benar-benar kecewa sekali.” Bagaimana perasaan
murid bila ditegur
seperti cara ini?
Akibat:
Murid akan merasa bersalah. Bersalah
telah mengecewakan ibu atau bapak gurunya. Murid
akan merasa menjadi orang yang gagal dan tidak sanggup membahagiakan orang lain. Kadangkala sikap seperti ini lebih
berbahaya dari sikap penghukum, karena emosi
akan tertanam rapat di dalam, murid menahan perasaan. Tidak seperti
murid dalam dengan guru penghukum, di mana murid bisa menumpahkan amarahnya walaupun dengan
cara negatif. Murid
tertekan seperti inilah
yang tiba-tiba bisa meletus amarahnya, dan bisa menyakiti diri sendiri atau orang lain.
Teman (nada
suara: ramah, akrab, dan bercanda, bahasa tubuh: merapat pada murid, mata dan senyum jenaka)
“Adi, ayolah, bagaimana sih kamu.
Kemarin kamu sudah janji ke bapak bukan, kenapa terlambat lagi? (sambil tertawa ringan). Ya, sudah tidak
apa-apa, duduk dulu sana. Nanti Pak Guru bantu. Kamu ini.” (sambil
senyum-senyum).
Bagaimana perasaan murid dengan sikap guru seperti ini?
Akibat:
Murid akan
merasa senang dan akrab dengan guru. Ini termasuk dampak yang positif, hanya saja di sisi negatif murid menjadi tergantung pada guru tersebut. Bila ada masalah, dia merasa
bisa mengandalkan guru tersebut untuk membantunya. Akibat lain dari posisi teman, Adi hanya akan berbuat sesuatu
bila yang menyuruh adalah guru tersebut, dan
belum tentu berlaku
yang sama dengan
guru atau orang
lain.
Pemantau (nada suara datar, bahasa tubuh yang formal):
Guru: “Adi, tahukah
kamu jam berapa kita memulai?”
Adi: “Tahu Pak!”
Guru: “Kamu terlambat 15 menit, apakah kamu sudah mengerti apa yang harus dilakukan bila terlambat?”
Adi: “Paham Pak, saya harus tinggal kelas pada jam istirahat
nanti dan mengerjakan
tugas ketertinggalan saya.”
Guru: “Ya, benar,
nanti
pada
saat
jam
istirahat
kamu
harus
sudah di kelas untuk
menyelesaikan tugas yang tertinggal tadi. Saya tunggu”
Bagaimana perasaan murid diperlakukan seperti ini?
Akibat:
Murid memahami sanksi yang harus dijalankan karena telah melanggar
salah satu peraturan sekolah. Guru tidak menunjukkan suatu emosi yang berlebihan, menjadi marah atau membuat merasa
berbuat salah. Murid
tetap dibuat tidak
nyaman yaitu dengan harus
tinggal kelas pada waktu jam istirahat dan mengerjakan tugas. Guru tetap harus memonitor atau memantau murid pada saat mengerjakan tugas di
jam istirahat karena murid tidak bisa ditinggal seorang
diri.
Manajer (nada
suara tulus, bahasa tubuh tidak kaku, mendekat ke murid): Guru: “Adi, apakah kamu mengetahui jam berapa sekolah dimulai?” Adi: “Tahu Pak, jam 7:00!”
Guru: “Ya, jadi kamu terlambat, kira-kira bagaimana kamu akan memperbaiki masalah
ini?”
Adi: “Saya bisa menanyakan teman saya
Pak, untuk mengejar tugas yang tertinggal.” Guru: “Baik, itu bisa dilakukan. Apakah besok akan ada masalah untuk kamu agar bisa hadir tepat
waktu ke sekolah?”
Adi: “Tidak Pak, saya bisa hadir tepat waktu.”
Guru: “Baik. Saya hargai usahamu untuk memperbaiki diri”
Bagaimana perasaan murid diperlakukan seperti ini?
Pada posisi Manajer maka suara guru
sebaiknya tulus. Tidak perlu marah, tidak perlu meninggikan suara, apalagi menunjuk-nunjuk jari ke murid,
berkacak pinggang, atau bersikap
seolah-olah menyesal, tampak sedih
sekali akan perbuatan murid ataupun bersenda gurau menempatkan diri sebagai teman murid.
Fokus adalah pada murid, bukan
untuk membahagiakan guru atau orang tua. Murid sudah mengetahui
adanya suatu masalah, dan sesuatu perlu terjadi. Bila guru mengambil posisi Pemantau, guru akan melihat
apa sanksinya apa peraturannya? Namun pada posisi
Manajer, guru akan mengembalikan tanggung jawab pada murid untuk mencari jalan keluar permasalahannya, tentu dengan bimbingan
guru.
5 POSISI
KONTROL RESTITUSI
Motivasi |
MOTIVASI EKSTERNAL |
MOTIVASI INTRINSIK |
|||
IDENTITAS GAGAL |
IDENTITAS BERHASIL/SUKSES |
||||
PERILAKU KONTROL NEGATIF |
PERILAKU KONTROL POSITIF |
KONTROL DIRI |
|||
|
PENGHUKUM |
PEMBUAT ORANG MERASA BERSALAH |
TEMAN |
PEMANTAU |
MANAJER |
Guru Berbuat: |
Menghardik Menunjuk- nunjuk Menyakiti Menyindir |
Berceramah Menunjukkan kekecewaan mendalam |
Membuatkan alasan-alasan untuk murid- muridnya. |
Menghitung dan mengukur |
Mengajukan pertanyaan- pertanyaan |
Guru Berkata: |
“Kalau kamu tidak
melakukannya, saya akan…” |
“Kamu sudah
mengecewakan Ibu/Bapak” |
“Lakukan untuk
Bapak/Ibu” “Ya sudah nanti Bapak/Ibu bantu bereskan” |
“Apa
peraturannya?” “Apa konsekuensinya/sanksinya?” “Apa yang telah
kamu lakukan?” “Apa yang terjadi sekarang?” |
“Apa yang kita yakini? Apa kamu meyakini hal tersebut?” “Kalau kamu meyakininya, kamukah kamu memperbaikinya?” “Kalau kami memperbaikinya, jadi kira-kira hal tersebut akan menggambarkan apa tentang dirimu?” |
Hasilnya: |
Memberontak Pendendam Menyalahkan orang lain |
Menyembunyi- kan Menyangkal Berbohong |
Ketergantungan |
Menyesuaikan bila diawasi. |
Menguatkan watak/karakter |
Murid Berkata: |
“Saya tidak
peduli” |
“Maafkan saya”. |
“Saya pikir Bapak/Ibu teman saya” |
“Saya akan dapat
berapa bintang kalau melakukan hal tersebut?” “Jika sudah melakukan hal tersebut, saya akan mendapatkan apa?” |
“Bagaimana caranya agar saya bisa memperbaiki keadaan ini?” “Saya akan memperbaiki masalah ini dengan…” |
Dampak pada
Murid: |
Mengulangi kesalahan berulang kali. Perilaku menjadi agresif |
Rendah diri Merasa
gagal dan tidak berharga |
Tergantung Tidak
mandiri dan tidak bisa memutuskan |
Menitikberatkan pada dampak pada diri sendiri, mendapatkan hadiah atau mendapatkan hukuman. |
Mengevaluasi diri Bagaimana menjadi
diri yang lebih baik |
Motivasi |
MOTIVASI EKSTERNAL |
MOTIVASI INTRINSIK |
|||
IDENTITAS GAGAL |
IDENTITAS BERHASIL/SUKSES |
||||
PERILAKU KONTROL NEGATIF |
PERILAKU KONTROL POSITIF |
KONTROL DIRI |
|||
|
PENGHUKUM |
PEMBUAT ORANG MERASA BERSALAH |
TEMAN |
PEMANTAU |
MANAJER |
Kaitan dengan Dunia
Berkualitas |
Murid meletakkan guru di luar Dunia
Berkualitas. |
Murid meletakkan guru di dalam
Dunia Berkualitas. |
Murid meletakkan guru sebagai orang
penting dalam Dunia Berkualitas. |
Murid meletakkan guru, peraturan di
Dunia Berkualitas. |
Murid meletakkan dirinya sebagai individu yang positif dalam Dunia
Berkualitas. |
2.6 Segitiga Restitusi
Pertanyaan Pemantik
Bapak Ibu calon guru penggerak, apa yang akan Anda lakukan
bila,
·
Dalam sebuah acara pesta
ulang tahun, teman Anda memecahkan gelas.
Apakah Anda akan membiarkan dia membayar harga gelas yang dipecahkannya?
·
Anda sudah janji bertemu dengan teman Anda, namun ternyata dia juga memiliki janji penting bertemu orang lain di tempat lain, dan Anda terpaksa naik taksi untuk menemui teman Anda di tempat itu, apakah
Anda akan meminta teman Anda membayar biaya taksi Anda menuju ke tempat tersebut?
·
Pegawai Anda membuat kesalahan
yang menyebabkan kerugian
finansial pada perusahaan, pegawai tersebut menawarkan untuk bekerja lembur tanpa bayaran, apakah Anda sebagai pemilik
perusahaan akan menerimanya?
Eksplorasi Mandiri
Bapak dan Ibu Calon Guru Penggerak,
Bila ada seseorang
berbuat salah pada Anda, ketika mereka menawarkan sebuah tindakan untuk
memperbaiki kesalahan mereka,
kemungkinan besar, jawaban Anda adalah akan menolak semua tawaran itu, dan akan bilang, tidak usah, tidak apa-apa. Lupakan saja.
Kebiasaan kita selama
ini, bila ada orang yang berlaku salah pada kita adalah langsung memaafkan, atau membuat mereka tidak nyaman. Kita cenderung untuk berfokus
pada kesalahan daripada
mencari cara bagi mereka
untuk memperbaiki diri. Kita lebih fokus pada bagaimana cara mereka membayar ketidaknyamanan yang disebabkan oleh kesalahan mereka daripada mengembalikan harga diri mereka.
Membuat kondisi menjadi impas, menjadi lebih penting daripada membuat situasi menjadi benar.
Bapak Ibu guru penggerak,
Sebagai seorang
guru, ketika murid Anda melakukan kesalahan, tindakan mana yang akan Anda lakukan?
·
Anda menunjukkan kesalahannya dan memintanya melihat kesalahannya baik-baik?
·
Anda mengatakan, “Kamu seharusnya tahu bagaimana kamu seharusnya bertindak”.
·
Anda mengingatkan murid Anda akan kesalahannya yang
sama di waktu
sebelumnya.
·
Anda akan bertanya padanya,
“Kenapa kamu melakukan sesuatu
yang
seharusnya tidak kamu lakukan?”.
·
Anda akan mengkritik dia dan mendiamkannya?
Kalau Anda melakukan tindakan-tindakan di atas, mungkin
Anda akan membuat murid Anda merasa menjadi anak yang gagal.
Pertanyaannya sekarang, bagaimana kita sebaiknya respon
kita bila ada murid kita melakukan kesalahan? Mari kita baca artikel ini:
Restitusi
Sebuah Cara Menanamkan disiplin
positif Pada Murid
Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa
kembali pada kelompok mereka, dengan karakter
yang lebih kuat (Gossen; 2004)
Restitusi juga adalah proses kolaboratif yang mengajarkan
murid untuk mencari solusi untuk masalah, dan membantu murid berpikir tentang
orang seperti apa yang mereka inginkan, dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain (Chelsom
Gossen, 1996).
Restitusi membantu murid menjadi lebih memiliki tujuan, disiplin positif, dan memulihkan dirinya setelah berbuat salah. Penekanannya bukanlah pada bagaimana berperilaku untuk menyenangkan orang lain atau
menghindari ketidaknyamanan, namun tujuannya adalah menjadi orang yang menghargai nilai-nilai kebajikan yang mereka percayai. Sebelumnya kita telah belajar tentang teori kontrol bahwa pada dasarnya, kita memiliki motivasi intrinsik.
Melalui restitusi, ketika murid berbuat salah, guru akan menanggapi dengan
cara yang memungkinkan murid untuk membuat evaluasi internal tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk memperbaiki kesalahan mereka dan mendapatkan kembali
harga dirinya. Restitusi
menguntungkan korban,
tetapi juga menguntungkan orang yang telah berbuat salah. Ini sesuai dengan prinsip dari teori kontrol
William Glasser tentang solusi menang- menang.
Ada peluang
luar biasa bagi murid untuk bertumbuh ketika mereka melakukan
kesalahan, bukankah pada hakikatnya begitulah
cara kita belajar. Murid perlu bertanggung jawab atas perilaku yang mereka pilih, namun mereka juga dapat memilih untuk belajar dari pengalaman dan membuat pilihan yang lebih baik di waktu yang akan
datang. Ketika guru memecahkan masalah
perilaku mereka, murid akan kehilangan kesempatan untuk mempelajari keterampilan yang berharga untuk hidup mereka.
Di bawah ini adalah ciri-ciri
restitusi yang membedakannya dengan program
disiplin lainnya.
· Restitusi bukan untuk menebus kesalahan, namun untuk belajar dari kesalahan
Dalam restitusi, ketika
murid berbuat salah, guru tidak mengarahkan untuk menebus kesalahan dengan membayar sejumlah uang, memperbaiki kerugian yang timbul, atau sekedar meminta
maaf. Karena kalau
fokusnya kesana, maka murid yang berbuat salah akan fokus pada tindakan untuk menebus kesalahan dan menghindari ketidaknyamanan, yang bersifat eksternal, bukannya pada upaya
perbaikan diri, yang lebih bersifat internal. Biasanya setelah
menebus kesalahan, orang yang berbuat
salah akan merasa sudah selesai dengan situasi itu sehingga merasa lega, dan seolah-olah kesalahan tidak pernah terjadi.
Terkadang bisa juga muncul perasaan ingin balas dendam, bila orang yang berbuat salah sebetulnya merasa tidak rela harus melakukan sesuatu untuk menebus kesalahannya. Kalau tindakan
untuk menebus kesalahan dipahami
sebagai hukuman, maka mungkin mereka berpikir
untuk membuat situasinya menjadi impas. Pembalasan seperti ini akan berdampak jangka panjang karena konfliknya akan tetap ada. Menebus kesalahan
itu tidak salah,
namun biasanya tidak membuat kita
menjadi pribadi yang lebih kuat.
Restitusi sebenarnya juga meliputi usaha untuk menebus kesalahan, tetapi sebaiknya merupakan
inisiatif dari murid yang melakukan
kesalahan. Proses pemulihan akan terjadi bila ada keinginan dari murid yang berbuat salah untuk melakukan sesuatu yang menunjukkan rasa penyesalannya. Fokusnya tidak hanya pada mengurangi kerugian
pada
korban, tapi juga bagaimana menjadi orang yang lebih baik dan melakukan hal baik pada orang lain dengan kebaikan
yang ada dalam diri kita.
Ketika murid belajar dari kesalahan untuk menjadi lebih baik untuk masa depan, mereka akan mendapatkan pelajaran yang mereka bisa pakai terus menerus di masa depan untuk menjadi orang yang lebih baik.
· Restitusi memperbaiki hubungan
Restitusi adalah tentang
memperbaiki hubungan dan memperkuatnya. Restitusi juga membantu murid-murid dalam hal mereka ingin menjadi orang seperti apa dan
bagaimana mereka ingin diperlakukan. Restitusi
adalah proses refleksi dan pemulihan. Proses ini menciptakan kondisi yang aman bagi murid untuk menjadi jujur pada diri mereka sendiri dan mengevaluasi dampak dari
tindakan mereka pada orang lain. Ketika proses
pemulihan dan evaluasi diri telah selesai, mereka bisa mulai berpikir tentang apa yang bisa dilakukan
untuk menebus kesalahan mereka pada orang yang menjadi korban.
· Restitusi adalah tawaran, bukan paksaan
Restitusi yang dipaksa bukanlah
restitusi yang sebenarnya, tapi konsekuensi. Bila guru memaksa
proses restitusi, maka murid akan bertanya, apa yang akan terjadi kalau saya tidak melakukannya. Misalnya mereka sebenarnya tidak suka konsekuensi yang guru sarankan, mereka mungkin akan setuju dan akan melakukannya, tapi karena mereka menghindari ketidaknyamanan atau menghindari kehilangan kebebasan atau diasingkan dari kelompok. Mereka akan percaya kalau mereka menyakiti orang, maka mereka juga tersakiti, maka mereka pikir itu impas. Seorang anak yang
memukul temannya akan mengatakan, “Kamu boleh pukul aku balik, biar impas”.
Memaksa melakukan restitusi
bertentangan dengan perkembangan moral, yaitu kebebasan untuk membuat pilihan. Oleh
karena itu, penting bagi guru untuk menciptakan kondisi yang membuat
murid bersedia menyelesaikan masalah dan berbuat
lebih baik lagi, dengan berkata,
“Tidak apa-apa kok berbuat salah itu manusiawi. Semua orang pasti
pernah berbuat salah”.
Pembicaraan ini bersifat tawaran, bukan paksaan, bukan mengatakan, “Kamu harus lakukan
ini, kalau tidak maka…”
· Restitusi menuntun untuk melihat ke dalam diri
Dalam proses restitusi kita akan melihat adanya ketidakselarasan antara tindakan
murid yang berbuat salah dan keyakinan
mereka tentang orang seperti apa yang
mereka inginkan. Untuk membimbing proses pemulihan diri, guru bisa bertanya pada mereka:
·
Kamu ingin menjadi orang seperti apa?
·
Kamu akan terlihat, terdengar, dan terasa seperti
apa kalau kamu sudah menjadi orang yang seperti itu?
·
Apa yang kamu percaya tentang bagaimana orang harus memperlakukan orang lain?
·
Bagaimana kamu mau diperlakukan ketika kamu berbuat salah?
·
Apa nilai yang diajarkan di keluargamu tentang hal ini? Apakah kamu memegang nilai ini?
·
Kalau tidak, lalu apa yang kamu percaya?
Kita tidak ingin
menciptakan rasa bersalah pada diri anak dengan bertanya seperti itu. Kalau guru melihat rasa bersalah di wajah murid, maka guru harus cepat-cepat mengatakan, “Tidak apa-apa kok berbuat salah”.
Ketika murid sudah dibimbing untuk mengeksplorasi orang seperti apa yang mereka inginkan, guru bisa mulai bertanya tentang kejadiannya, seberapa sering hal ini terjadi, apa yang ia lakukan, ia berada di mana. Murid tidak akan berbohong pada guru.
Restitusi mencari
kebutuhan dasar yang mendasari tindakan
Untuk berpindah dari
evaluasi diri ke restitusi diri, penting bagi murid untuk memahami dampak dari tindakannya pada orang lain. Kalau murid paham
bahwa setiap orang memiliki kebutuhan dasar untuk dipenuhi, hal ini akan sangat membantu, sehingga ketika
murid melakukan kesalahan, mereka akan menyadari kebutuhan
apa yang sedang
mereka coba penuhi, demikian juga kebutuhan orang lain.
Untuk membantu
murid mengenali kebutuhan dasarnya, guru bisa
meminta mereka mengenali
perasaan mereka. Perasaan
sedih dan kesepian
menunjukkan adanya kebutuhan cinta dan kasih sayang yang tidak terpenuhi. Perasaan dipaksa, atau terlalu banyak beban, menunjukkan kurangnya
kebutuhan akan kebebasan. Perasaan
takut akan kelelahan, kelaparan, menunjukkan pada kita kalau kita merasa tidak aman. Perasaan bosan menunjukkan kurang terpenuhinya kebutuhan akan
kesenangan.
Restitusi diri adalah cara yang paling baik
Dalam restitusi diri murid belajar untuk mengubah kebiasaan dari kecenderungan untuk mengomentari orang lain, menjadi mengomentari diri sendiri. Dr. William Glasser
menyatakan, orang yang bahagia akan mengevaluasi diri sendiri, orang yang tidak
bahagia akan mengevaluasi
orang lain.
Ketika murid bisa
melakukan restitusi diri maka dia
akan bisa mengontrol dirinya dengan lebih baik dengan tujuan yang lebih baik pula.
Ketika Anda berhadapan
dengan orang lain, dan melakukan evaluasi diri, maka 9 dari 10 orang yang diajak bicara juga akan melakukan evaluasi diri juga. Mungkin akan ada 1 dari 10 orang yang diajak bicara, justru akan menggunakan kesempatan itu untuk menghukum Anda. Kalau ini terjadi, tanyakan saja, apakah
Anda mau
menggunakan
kesempatan ini untuk menjelek-jelekkan saya atau Anda mau membuat situasi ini menjadi lebih baik. Anda mau ke arah mana?
Restitusi fokus pada
karakter bukan tindakan
Dalam proses restitusi diri, maka murid akan menyadari dia sedang menjadi orang yang seperti apa, yang itu adalah menunjukkan fokus pada penguatan karakter. Ketika guru membimbing murid
untuk penguatan karakter, guru akan mengatakan, “Ibu/Bapak tidak terlalu
mempermasalahkan apa yang
kamu lakukan hari ini, tetapi
mari kita bicara
tentang apa yang akan kamu lakukan besok. Kamu bisa saja minta maaf, tapi orang akan lebih suka mendengar
apa yang akan kamu lakukan
dengan lebih baik lagi.
Restitusi menguatkan
Bisakah momen ketika murid melakukan kesalahan menjadi sebuah momen yang baik? Jawabnya, tentu bisa, asalkan ia bisa belajar dari kesalahan itu. Apa maksud dari kalimat kita bisa lebih kuat setelah kita belajar dari kesalahan? Lebih kuat disini maksudnya bukan menekan perasaan kita dalam-dalam. Kuat disini
artinya menyadari apa yang bisa murid ubah, dan murid benar-benar mengubahnya. Guru bisa
bertanya, apa yang dapat kamu ubah dari dirimu sendiri? Bagaimana kamu akan berubah?
Restitusi fokus pada solusi
Dalam restitusi, guru menstabilkan identitas murid
dengan mengatakan, “Kita tidak fokus pada kesalahan, Bapak/ibu tidak tertarik untuk mencari siapa
yang benar, siapa yang salah.
Restitusi mengembalikan murid yang
berbuat salah pada kelompoknya Mari
kita lihat praktik pendidikan kita yang seringkali
memisahkan anak-anak dari kelompoknya, misalnya
seorang anak TK bersikap tidak kooperatif pada saat kegiatan
mendengar dongeng dari gurunya, anak
itu disuruh keluar dari kelompoknya, atau anak itu diminta duduk di belakang kelas atau di
pojok kelas, disuruh keluar kelas ke
koridor, ke kantor guru, seringkali dibiarkan tanpa pengawasan.
Kalau ada anak remaja nakal, orangtua menyuruh pergi dari rumah. Padahal kalau mereka jauh dari orang tuanya, orang tuanya jadi tidak bisa mengajari mereka
dan mereka tidak belajar nilai-nilai kebajikan. Kalau mereka tidak belajar, bagaimana nasib generasi kita ke
depan? Kalau kita menjauhkan remaja kita, maka
mereka akan putus hubungan dengan kita.
Ketika anak berbuat salah, kita tidak bisa memotivasi anak untuk menjadi baik, kita hanya bisa menciptakan kondisi
agar mereka bisa melihat ke dalam diri mereka. Kita seharusnya mengajari mereka untuk menyelesaikan masalah mereka,
dan berusaha mengembalikan mereka
ke kelompok mereka
dengan karakter yang lebih kuat.
Disarikan dari Buku It’s All About WE; Rethinking
Discipline using Restitution,
Third
Edition, Diane Gossen,
2008
Bapak Ibu CGP,
Setelah Anda mengetahui
tentang apa itu restitusi, tentunya Anda ingin
mengetahui bagaimana cara melakukanya.
Diane Gossen dalam bukunya Restitution; Restructuring School
Discipline, 2001 telah merancang sebuah tahapan
untuk memudahkan para guru dan orangtua dalam melakukan proses untuk menyiapkan anaknya untuk melakukan
restitusi, bernama
segitiga restitusi/restitution triangle. Proses ini meliputi tiga tahap dan setiap tahapnya berdasarkan pada prinsip penting dari Teori Kontrol,
yaitu
Langkah |
Teori Kontrol |
|
1 |
Menstabilkan Identitas Stabilize the Identity |
Kita semua
akan melakukan hal terbaik yang
bisa kita lakukan |
2 |
Validasi Tindakan yang Salah Validate the Misbehaviour |
Semua perilaku
memiliki alasan |
3 |
Menanyakan Keyakinan Seek the Belief |
Kita semua memiliki motivasi internal |
Ketiga strategi tersebut
direpresentasikan dalam 3 sisi segitiga restitusi. Langkah-langkah itu tidak harus dilakukan satu persatu.
Banyak guru yang sudah menggunakannya dalam berbagai versi menurut gaya mereka masing-masing bahkan tanpa mengetahui tentang teori restitusi.
1.
Menstabilkan Identitas/Stabilize
the identity
Bagian dasar dari segitiga bertujuan untuk mengubah identitas anak dari orang yang gagal karena melakukan kesalahan menjadi orang yang sukses. Anak yang sedang mencari perhatian
adalah anak yang sedang mengalami
kegagalan. Dia mencoba
untuk memenuhi kebutuhan dasarnya namun ada benturan.
Kalau kita mengkritik dia, maka kita akan tetap membuatnya dalam posisi gagal. Kalau kita ingin ia menjadi proaktif, maka kita harus meyakinkan si anak, dengan cara mengatakan kalimat-kalimat ini:
·
Berbuat salah itu tidak
apa-apa.
·
Tidak ada manusia yang sempurna
·
Saya juga pernah melakukan kesalahan seperti itu.
·
Kita bisa menyelesaikan ini.
·
Bapak/Ibu tidak tertarik mencari
siapa yang salah,
tapi Bapak/Ibu ingin
mencari solusi dari permasalahan ini.
·
Kamu berhak
merasa begitu.
·
Apakah kamu sedang menjadi teman yang baik buat dirimu sendiri?
Kalau kita mengatakan kalimat-kalimat diatas, akan sangat sulit, bahkan hampir
tidak mungkin, buat anak untuk tetap membangkang. Para guru yang bertugas
mengawasi anak-anak saat mereka bermain
di halaman sekolah,
menyatakan bahwa bila mereka mengatakan kalimat tersebut yang mungkin hanya butuh 30 detik, bisa mengubah situasi yang sulit menjadi kooperatif.
Ketika seseorang merasa
sedih dan emosional, mereka tidak bisa mengakses bagian otak yang berfungsi untuk berpikir rasional. Saat itulah
ketika kita harus menstabilkan identitas anak. Sebelum terjadi hal-hal lain yang bisa memperburuk keadaan,
kita sebaiknya membantu
anak untuk tenang dan kembali ke suasana hati dimana proses belajar dan penyelesaian masalah bisa dilakukan.
Tentu akan sulit melakukan
restitusi bila, anak yang berbuat
salah terus berfokus pada kesalahannya. Ada 3 alasan
untuk ini, pertama rasa bersalah menguras energi.
Rasa bersalah membutuhkan energi yang sama
dengan energi yang dibutuhkan
untuk mencari penyelesaian masalah. Kedua,
ketika kita merasa bersalah, kita
mengalami identitas kegagalan. Dalam kondisi ini, orang akan cenderung
untuk menyalahkan orang lain atau mempertahankan diri, daripada mencari
solusi. Ketiga, perasaan
bersalah membuat kita terperangkap pada masa lalu dimana kita sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kita hanya bisa mengontrol apa yang akan terjadi di masa kini dan masa datang.
Sisi 2: Validasi Tindakan
yang Salah/ Validate the Misbehavior
Setiap tindakan kita dilakukan dengan suatu tujuan, yaitu memenuhi kebutuhan dasar. Kalau kita memahami kebutuhan
dasar apa yang mendasari
sebuah tindakan, kita akan bisa menemukan cara-cara paling efektif
untuk memenuhi kebutuhan
tersebut.
Menurut Teori Kontrol semua
tindakan manusia, baik atau buruk, pasti memiliki
maksud/tujuan tertentu. Seorang guru yang memahami
teori kontrol pasti akan mengubah pandangannya dari teori stimulus response ke cara berpikir proaktif yang mengenali tujuan dari setiap tindakan. Kita mungkin tidak suka sikap seorang anak yang terus menerus merengek,
tapi bila sikap
itu mendapat perhatian kita,
maka itu telah memenuhi kebutuhan anak tersebut. Kalimat-kalimat dibawah ini mungkin terdengar asing buat guru,
namun bila dikatakan dengan nada tanpa menghakimi akan memvalidasi kebutuhan
mereka.
·
“Padahal kamu bisa melakukan yang lebih buruk dari ini ya?”
·
“Kamu pasti punya alasan mengapa melakukan
hal itu”
·
“Kamu patut bangga pada dirimu sendiri karena kamu telah melindungi
sesuatu yang penting buatmu”.
·
“Kamu boleh
mempertahankan sikap itu, tapi kamu harus menambahkan sikap yang baru.”
Biasanya guru
menyuruh anak untuk menghentikan sikap
yang tidak baik,
tapi teori kontrol menyatakan bahwa resep itu tidak manjur. Mungkin tindakan guru dengan
memvalidasi sikap yang tidak baik seperti bertentangan dengan aturan yang ada.
Restitusi tidak
menyarankan guru bicara ke murid bahwa melanggar aturan adalah sikap yang
baik, tapi dalam
restitusi guru harus
memahami alasannya, dan paham bahwa setiap orang pasti akan
melakukan yang terbaik di waktu tertentu.
Sebuah pelanggaran aturan seringkali memenuhi kebutuhan anak akan kekuasaan/power walaupun seringkali bertabrakan dengan kebutuhan yang lain, yaitu kebutuhan akan cinta dan kasih sayang/love and belonging. Kalau kita tolak anak yang sedang berbuat salah, dia akan tetap menjadi bagian dari masalah. namun bila kita memahami alasannya
melakukan sesuatu, maka dia akan merasa dipahami.
Para guru yang telah
menerapkan strategi ini mengatakan bahwa anak-anak yang tadinya tidak terjangkau, menjadi lebih terbuka pada mereka. Strategi ini menguntungkan bagi murid dan guru karena guru akan berada dalam posisi siswa,
dan karena itu akan memiliki
perspektif yang berbeda.
Sisi Ketiga:
Menanyakan Keyakinan/Seek the Belief
Teori kontrol menyatakan
bahwa kita pada dasarnya termotivasi secara internal.
Ketika identitas sukses telah tercapai (langkah 1) dan tingkah laku yang salah telah divalidasi (langkah
2), maka anak akan siap untuk dihubungkan dengan nilai-nilai yang dia percaya, dan berpindah menjadi orang yang dia inginkan.
Pertanyaan-pertanyaan di bawah ini menghubungkan keyakinan anak dengan keyakinan kelas atau keluarga.
·
Apa yang kita percaya sebagai kelas atau keluarga?
·
Apa nilai-nilai umum yang kita telah sepakati?
·
Apa bayangan kita tentang kelas yang ideal?
·
Kamu mau jadi orang yang seperti apa?
Penting untuk menanyakan
ke anak, kehidupan seperti apa nantinya yang
mereka inginkan?
Apakah kamu ingin menjadi orang yang sukses, bertanggung jawab, atau bisa dipercaya?
Kebanyakkan anak akan mengatakan “Iya,” Tapi mereka tidak tahu bagaimana caranya menjadi orang seperti itu. Guru dapat membantu dengan bertanya, seperti apa jika mereka jd orang seperti itu. ketika anak sudah mendapat gambaran yang jelas tentang orang seperti apa yang mereka inginkan,
guru dapat membantu
anak-anak tetap fokus pada gambaran
tersebut.
Komentar
Posting Komentar